Dari teras tadi sore saya bersuara cukup keras, “Hoiii, hoiii, apa itu!” Tetapi mereka tak menjawab. Tiga anak muda itu terus menyisipkan selebaran ke setiap gerbang rumah. Tipikal penebar selebaran. Jangankan permisi, ditanya pun tak menyahut. Hanya terhadap doberman atau Belgian Malinois, misalnya ada, mereka akan takzim.
Kalau terhadap buaya semeter? Mereka tidak takut. Bahkan mereka tawarkan. Rupanya itu selebaran toko baru khusus roti di kawasan saya.
Ada menu kue dengan cetakan foto dan ya itu tadi, buaya. Tepatnya roti buaya, berbentuk buaya. Karena kawasan Pondokgede dan sekitarnya, yang ikut Jabar, ini berkultur Betawi β ada yang menyebut Betawi Ora β maka roti buaya masih menjadi bagian dari hantaran mempelai pria dalam pernikahan. Buaya dibopong dalam nampan panjang.
Buaya, yang darat maupun muara, dipercaya sebagai pejantan setia karena monogamous. Maka berbanggalah kaum pria jika dibilang, “Dasar buaya!” dan eh… mana gemar mbajul pula. Itu pujian.
5 Comments
Roti boyo/roti bajul.π Baru tahu sekarang.
Tapi ternyata istri tahu, termasuk tentang kegunaannya untuk urusan pernikahan. Hanya, dia mengira khas di Sunda, bukan Betawi.
Lho saya pikir sudah tahu soal roti buaya itu. Emang sih di Solo dan kota Jateng plus Jatim gak ada yang jual π
Saya betul2 blm tahu, kemudian tadi saat ngobrol pagi dengan istri sebelum dia berangkat ke kedai, saya tanyakan roti tsb ke dia.
Tadi pagi sempat searching jg sih, yg muncul arsip foto roti buaya dari toko roti Wonder Solo tapi kecil, dan jauh berbeda dari yang roti buaya Betawi.
Yang Winder untuk piring π
Jadi kalo pesen roti buaya mantèn, pasti diantar berikut tripleks dibalut kertas emas untuk alas