MAKA… | Bagi awam, istilah baru selalu butuh penjelasan. Seperti awal pandemi Covid-19 ada sejumlah istilah yang bikin bingung, dari kluster, lockdown, PCR, sampai protokol. Bagusnya, para ahli bisa bersepakat dan ada jembatan keledai bagi awam.
Lantas bagaimana dengan pemanfaatan big data untuk melegitimasi penundaan Pemilu 2024? Tempo hari ada usul dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Sekarang oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, tapi dia tak tegas merekomendasikan hal itu.
LBP hanya bilang, masyarakat ingin ekonomi lancar tanpa sakit gigi soal kampret, cebong, dan lainnya. Big data, kata Luhut, menunjukkan hal itu. Tapi proses politik ke amandemen konstitusi, menurutnya, bukan hal gampang.
¬ Gambar praolah: Wikimedia Commons
5 Comments
Sekarang andalannya orang-orang penting itu big data.
Ngomong-ngomong bisa nggak ya dipakai untuk kedai istri saya, misalnya untuk mengambil keputusan tertentu agar kedai lebih laku daripada biasanya?
Baca big data perlu ahli baca alias data scientist.
Sebetulnya data kecil biasa kan sudahlah melekat di benak juragan. Misalnya perbandingan tunai dan tunai untuk yang makan di tempat. Lalu jenis paling laku via Gofood, dan menu yang perlukan promo atau bundle, dst.
Oopa sotoy. Maap
Baiklah.
Sebenarnya semua pengusaha melakukan. Pemilik warung pracangan di kampung dan penjual nasi uduk tahu kapan hari laris dan jeblok, siapa saja pelanggan lama, dst.
Warung tahu kapan nambah kulakan tertentu, dan penjual nasi uduk tahu kapan nambah porsi.
Yah kayak pengelola situs berita menyiasati konten berdasarkan data Google gitulah 🤣
👍