Saya tidak mendewakan infografik, tetapi membayangkan jika materi ajar di kelas, sejak SD sampai SMA/SMK dan madrasah alirannya memampangkan infografik ala Kompas hari ini.
Syukurlah jika sudah, sehingga terbukti saya telat berimajinasi*. Maklumlah, anak-anak saya sudah bekerja sehingga tak dapat saya tanya soal pelajaran.
Materi visual yang saya bayangkan tersebut ada di buku pelajaran cetak dan materi digital, bukan hasil plagiarisme. Masa sih materi ajar cuma main comot karya pihak lain tanpa atribusi? Itu sama saja melarang murid menyontek tapi gurunya menggunakan bahan hasil jiplakan dari penerbit — atau malah hasil kerajinan guru dalam mengompilasi tapi lupa atribusi. Semoga dunia pendidikan dasar sampai menengah sudah khatam Creative Commons.
Beberapa tahun lalu, yang kondisinya mungkin tak sebaik sekarang, saya pernah rasan-rasan soal konten infografik di sekolah.
Teman saya menanggapi, “Emang media juga udah? Mereka maunya ada satu orang hangabèhi, sebagai visualiser statis maupun interaktif, merangkap periset data, reporter, desainer, ilustrator, fotografer, videografer, urus coding, bikin brief, script dan storyboard, copywriter, sekalian nulis artikel, dengan gaji yang yah… gitu deh?”
Saya menyahut, “Plus hari ini pesen, kemarin jadi? Entar ada robotnya kok. Kalo gambar idup pake suara. Tinggal mau inves buat AI soal gituan apa nggak.”
*) Saya tak tahu bagaimana Sekolah Waldorf kini, yang pernah dibahas The New York Times pada 2011. Anak-anak orang Silicon Valley belajar pakai cara biasa.