Pawon. Itulah kesan saya saat mendapati tempe dalam tas keresek tergantung pada pintu dapur sebuah rumah. Saya teringat dapur lama rumah dulu: tanpa bak cuci piring, tanpa kompor gas, tanpa kitchen set, tanpa kulkas, tanpa microwave oven, lalu tungku kayu, kompor minyak, dan anglo memaksa orang untuk jongkok. Mengiris labu siam dan mengulek sambal pun berjongkok.
Dalam dapur lawasan macam itu, dinding kayu dan tiang, juga para-para (Jawa: paga), serta pintu, adalah storage, tempat barang. Menggantungkan tempe dan petai di tempat yang mudah dijangkau adalah kelaziman. Maka tafsir terhadap teori estetika pun bisa berbeda.
Dalam kasus tempe di pintu ini, penyebabnya dua. Pertama: sang ibu rumah harus segera pergi karena ada urusan. Kedua: semut kecil merah yang gatal sedang menyerbu dapur, tapi pintu belum mereka jangkau.
4 Comments
Semut memang ndembik! Saya juga sering melakukan hal kayak gitu di rmh, demi menghindarkan penganan dari serbuan semut. Terakhir kemarin siang, setelah membeli beberapa tahu goreng dan timus di sebuah wedangan siang dekat rmh, sy cantolkan pintu depan.
Naruh makanan di meja (kalau tanpa dirambang air) sering jadi serbuan semut. Terakhir dua hari lalu, roti pisang yg jadi korban. Akhirnya saya buang ke tempat sampah, tapi sebelumnya roti dan semut-semutnya saya cemplungkan air dulu agar semut2nya mati.
Pusing tuh ngatasi semut. Semua cara sudah dicoba eh masih ada juga. Beragam jenis pula.
Paling repot kalo sofa bahan kain didatangi semut.
Naruh makanan dirambang di atas air, aman, tapi saya sering lupa juga. 🙈 Tahu2 makanan yg masih utang, jadi pesta para semut.
Jangankan makanan manusia, racun tikus saja dimakan semut