Studi banding tentang tata kota di luar negeri, yang menghormati pejalan kaki, akhirnya menjadi studi banting. Map laporannya dibanting.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Jalan mulus tanpa lubang, dengan penerangan memadai pada malam hari, dan kotak sampah di mana-mana, itu harus. Tanpa terucapkan dalam janji kampanye pilwali dan pilbup pun harus terwujudkan. Lalu apa lagi?

Kenyamanan bagi pejalan kaki. Menghormati hak-hak mereka atas fasilitas yang layak karena kota yang memiliki adab tak dibangun untuk segala jenis kendaraan. Kota akan lebih ternikmati sebagai ruang hidup jika aman dan nyaman bagi pejalan kaki.

Ya, pejalan kaki. Siapapun itu. Termasuk yang difabel. Foto Kompas tentang trotoar di Bandung, Jabar, ini mengingatkan saya kepada trotoar sempit di SCBD, Jakarta, antara Plaza Mandiri (lihat arsip posting 2011) dan Polda Metro Jaya, serta trotoar depan RS Medistra.

Trotoar sempit di SCBD Jakarta

Trotoar SCBD sejak masih berupa gambar rencana tapak mestinya dipersoalkan oleh Pemprov DKI — siapapun yang berkuasa dan membangun SCBD.

Sedangkan trotoar depan Medistra menyempit karena termakan pelebaran jalan untuk ujung turun jalan layang Jalan Tendean ke Jalan Gatot Subroto. Saya tak paham kenapa DKI tak dapat memberikan kompensasi untuk memangkas halaman rumah sakit.

Trotoar sempit depan RS Medistra Jakarta

Studi banding tentang tata kota di luar negeri, yang menghormati pejalan kaki, akhirnya menjadi studi banting. Map laporannya dibanting. Temuan di luar negeri ditanggapi mewah sekaligus utopis. Saya berburuk sangka begitu. Tolong Anda koreksi.

2 thoughts on “Sepaket: Kota ramah transportasi publik dan ramah pedestrian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *