Sepulang dari membeli telur di warung lain — karena warung baru, khusus telur, bakda magrib sudah tutup — saya melamun sambil membuka tas keresek. Warung itu harus tutup lebih awal karena tak enak terhadap warung lain.
Saya tahu hal itu dua pekan lalu saat membeli telur bersama istri, pada siang yang panas, sehingga pembeli sepi. Kami menanya kenapa sering tutup. Bu Warung Telur bilang tutup lebih sore karena ditegur warung lain, yang jualannya lengkap, agar tak mengambil pembelinya. Sebagai pemain baru, lagi pula dia orang luar kompleks, dia pun mengalah.
Bisnis. Kompetisi. Ada kalanya tak mudah. Saya teringat cerita serang kawan di Cibubur saat menjadi ketua RT. Pada awal masuknya Grab Bike dan Gojek, pemain lokal yakni ojek pangkalan menghalangi ojek berbasis aplikasi menjemput penumpang.
Untuk mencegah konflik fisik, Pak RT mengumpulkan pemain lama. Mereka mengeluh rezekinya terampas “ojek onlen”. Maka Pak RT menawarkan solusi, bagaimana jika mereka gabung ke ojek onlen.
Mereka menolak. Alasannya, motornya bodong, tanpa surat, dan mereka tak punya SIM.
Uh, saya teringat bagaimana dulu naik taksi di dekat Asrama Haji Pondokgede karena tempat mangkal Blue Bird (BB) akhirnya disisipi taksi lain yang brengsek. Penumpang tak dapat memilih, harus urut taksi terdepan, celakanya itu bukan BB, kadang minta borongan.
Sopir BB mengajari saya untuk bilang akan bayar pakai voucer. Taksi-taksi wagu itu pun gagal merebut pasar atas nama keadilan sepihak. Apakah ini persoalan kemenangan kapitalis, yakni BB, dan tadi Gojek plus Grab? Saya tak mengajak diskusi soal itu.
BB akhirnya bekerja sama dengan Gojek, dan bertahan. Taksi Express yang genah akhirnya keok. Pool dekat kompleks saya sempat jadi padang belukar dengan mobil-mobil taksi mangkrak.
Bisnis. Kompetisi. Haruskah sampai ke tingkat membunuh yang lain? Tak adakah cara santun untuk mencegah konflik? Beda orang beda cara. Artinya beda kasus. Transjakarta dulu dibangun dengan konsorsium yang melibatkan beberapa perusahaan otobus lama mereka tak mati. Tapi dalam perjalanan, kemampuan setiap perusahaan ternyata berbeda.
Saya pun teringat sebuah artikel obituarium di Kompas* untuk almarhumah Jakob Oetama. Terceritakan, Cahyono Bayu Aji, Product Marketing Kompas di Medan, pada 2006 diutus mengantarkan surat kepada pemilik salah satu koran terbesar di Padang. Surat ditulis tangan langsung oleh Jakob.
Isinya: permintaan izin kepada pemilik koran itu bahwa Kompas akan mendirikan percetakan jarak jauh di Padang agar bisa hadir lebih pagi di Sumbar.
“Saya diterima sangat baik oleh beliau,” kata Bayu. Surat dibalas langsung oleh pemilik koran, yang menyatakan keberatan karena situasi koran di daerah tak begitu baik. Pemilik koran itu sangat mengapresiasi surat itu.
“Kalau Pak Jakob menelepon, saya mungkin sungkan menolak. Tapi, beliau tahu caranya. Dengan mengirimkan surat, beliau menghilangkan kesungkanan saya untuk menolak,” kata pemilik koran itu. Pembangunan percetakan di Padang pun urung.
*) “Suara Negeri tentang Sang Pendiri”, Kompas 10/9/2020, halaman 16
4 Comments
entah kenapa bisnis takut dengan persaingan. bukannya dengan persaingan, bisnis (harusnya) lebih sehat? ah, mungkin karena saya ngga berbisnis, jadi ngga paham nikmatnya monopoli..
Katanya monopoli dan kartel itu nikmat
Bisnis. Persaingan. Saya jadi ingat kisah lama bingits, koran Surya sering diborong pihak koran saingan untuk dibakar atau dibuang, penjual Surya diintimdasi penjual koran saingan, dan seterusnya. Itu sangat membekas pada senior2 saya di Surya.
Cara berbisnis dan bersaing pihak lain yang bertolak belakang dari contoh kisah (mengharukan) tentang surat Pak Jokob Oetama….
Terus terang saya kurang sreg dengan sang juragan satu itu, yang dipuji banyak orang. Mainnya kasar. Bahkan anak buahnya sampai menyuruh preman menjitaki koper-loper bocah. Lalu sopir mobil ekspedisi dibikin mabuk, sehingga koran untuk Bali terlambat. Dan banyak contoh yang Panjenengan lebih tahu.
Reporter biro Jakarta dulu tega bikin berita fiktif. Sekeluar saya dari ruang Mendagri, untuk wawancara sendirian, seseorang dari media itu menelpon saya di kantor, minta bahan cerita. Modus kalo ada wartawan bisa wawancara khusus thd menteri, dalam konteks Orba ini hal sulit, si wartawan diminta berbagi oleh anak-anak ngepos.
Nah reporter media yang satu itu itu, di biro Jakarta, ada yng bikin serial wawancara fiktif dgn tokoh eks-napi. Dia niru kepala bironya yang pernah bikin serial liputan reli di luar negeri.
Ada juga kasus menyuruh seorang anak buat magang di sebuah media di Jakarta, ikut rapat segala. Pulang kampung dia ditugasi mimpin media baru degan konten serupa tempat magang 🙈