Artikel Linda Christanty, “Operasi Lanun“, hari ini di Kompas bikin saya tercerahkan. Artinya saya kurang wawasan. Rupanya kata “lanun” berasal dari suku Lanun, Mindanao, yang menjadi bajak laut. Linda juga merujuk buku yang belum pernah saya dengar, ditulis oleh seorang bajak laut dan petualang, William Dampier, terbit pertama 1697.
Lanun? Masihkah kata ini ada dalam berita media? Apakah guru-guru bahasa Indonesia masih mengenalnya?
Untuk media masih. Pernah menyebut, maksud saya. Misalnya Go Riau, Republika, dan Antaranews. Tentu, di balik istilah tertentu ada pro-kontra, seperti ditulis oleh Republika.
Saya ingat ketika dulu, sebagai reporter, mewawancarai Panglima Armada Barat TNI AL secara khusus. Saya menanya ihwal lanun dan perompak di Selat Malaka. Pak Laksamana terhenyak, menatap saya, “Usia Anda berapa, kok masih tahu istilah lanun?” Gantian saya yang heran, bukankah istilah itu ada dalam pelbagai cerita?
Dulu setahu saya, bajak laut itu ada dua macam, yakni perompak dan lanun. Perompak lebih mengutamakan operasi di laut. Sedangkan lanun datang dari laut menyerang darat, menjarah dan menculik, lalu kembali ke laut. Dalam imajinasi saya, di laut mereka juga punya lawan, bila perlu merompak juga, bahkan mungkin menggasak bajak laut lain.
Benarkah begitu? Saya malah lupa, jangan-jangan pengartian saya tadi terbalik. Maklum faktor U. Maaf. Lagi pula, ya itu tadi, jarang jadi berita.
Perihal bajak laut, sila baca posting di blog Tengku Puteh.
2 Comments
Bajak laut, perompak, dan lanun, sejak dahulu saya mengira sama saja. Pokoknya penjahat yang “bekerjanya” di laut dengan kekerasan, perampok di lautan. Ternyata beda2.
Waktu itu Pak Panglima juga membedakan perompak dan lanun.