Setrika Benetton Dagadu

Pencinta barang jadul mungkin menyayangkan seterika arang yang dicat warna-warni karena otentisitasnya lenyap.

▒ Lama baca < 1 menit

Kenang-kenangan: Seterika Benetton Dagadu

Saat membersihkan rumah dan mengelap setrika antik ngejreng ini lamunan saya bercabang ke dua arah. Pertama, soal Dagadu. Kedua, membayangkan silang sengketa opini tentang seni dan barang antik.

Saya memperoleh setrika ini dari anak-anak Dagadu, 1999, ya 23 tahun silam, di markas baru mereka, Jalan Pakuningratan, Yogyakarta, yang dipajangi VW kombi dengan dekorasi Dagadu. Kebetulan saya mengenal beberapa pendiri, misalnya Nowo Yuliarso dan Ahmad Noor Arief, saat mereka yang masih belia itu memulai bisnis, di markas yang ruang tamunya masih lesehan, di sebuah gang di Jetis Pasiraman; kalau bablas terus, ndronjong, akan sampai Kali Code.

Saat itu, di depan sebuah rak, saya terperanjat melihat sebuah setrika arang, yang membuat saya berkomentar, “Kok mbenetton banget?”

Kenang-kenangan: Seterika Benetton Dagadu

Anak-anak Dagadu malah tertawa, ada yang nyeletuk, “Kan united colors, Mas. Kita menghormati keberagaman.”

Kenang-kenangan: Seterika Benetton Dagadu

Dulu, 1980-1990, adalah saat Benetton, jenama Italia, tampil menyebal dalam komunikasi visual. Tema multikulturalisme modern, tanpa mengangkat tribalisme, menjadi garis perangkai desain grafis mereka.

Senyampang dengan itu, foto-foto kampanye jenama Benetton karya Oliviero Toscani sering kontroversial, dari pasangan yang berciuman tetapi memberi kesan itu biarawati dan pastor, sampai bayi merah dengan tali pusar masih menempel pada badan di tangan paramedis dalam proses persalinan. Keanehan Toscani nyambung dengan selera artistik sang juragan, Luciano Benetton, yang akhirnya masuk ke politik Italia.

Dengan latar itulah, fesyen Benetton pernah menjadi garis zaman. Dagadu pernah membikin kaus United Colors of Keraton, menampilkan kartun prajurit Keraton Jogja.

Kenang-kenangan: Seterika Benetton Dagadu

Lalu karena saya takjub, dan bingung terhadap setrika itu, mereka bilang, “Mas Antyo suka? Ambil aja, Mas.” Terima kasih saya masih melekat hingga kini.

Nah, perihal si setrika beralih rupa dan warna ini mungkin akan mengundang kerut kening pencinta barang antik, “Kok tega sih?”

Beda orang beda jawaban. Ketika karya seni mengubah barang lawas, atas nama estetika baru, orang bisa menyoal otentisitas. Sepanjang itu barang privat, yang dibuat massal pada zamannya, artinya bukan benda milik publik, mungkin tak dianggap masalah — tapi tetap saja ada rasa ngéman, menyayangkan.

Kenang-kenangan: Seterika Benetton Dagadu

9 Comments

anoorarief Selasa 14 Juni 2022 ~ 09.14 Reply

haloooo mas Antyo…. wuedyaan, suwi tenan ra ketemu

Pemilik Blog Selasa 14 Juni 2022 ~ 09.21 Reply

Halo Dab!
Semoga kabar baik adanya.
Kita ketemu terakhir 2009 waktu saya diundang ngobrol di Dagadu dan dijamu. Saat saya ke Jogja itu juga terakhir ketemu adik saya, Prono, sempat antar dia cuci darah di Bethesda. 🙏

Zam Kamis 17 Februari 2022 ~ 14.02 Reply

kalo misal setrika itu direstorasi jadi seperti awalnya, mungkin setrika itu tidak akan menarik perhatian paman.. 😆

Pemilik Blog Kamis 17 Februari 2022 ~ 15.30 Reply

Bisa ya bisa tidak 😁

junianto Rabu 16 Februari 2022 ~ 13.19 Reply

Pakaian Benetton, sebagaimana halnya Dagadu, tidak ngejreng lagi penjualannya sekarang. Betul ya, Paman?

Pemilik Blog Rabu 16 Februari 2022 ~ 13.50 Reply

😇 Perlu data penjualan dan pendapatan

junianto Rabu 16 Februari 2022 ~ 17.00 Reply

BTW “Mas Antyo suka? Ambil saja, Mas”. Sejak abad lalu Paman memang skoy.

Antyo® Kamis 17 Februari 2022 ~ 11.55

Halah ngécé.
Tampang saya kadang memang melas campur mupeng.

Tinggalkan Balasan