↻ Lama baca < 1 menit ↬

Aneka tanaman di pinggir jalan, di luar pagar, di RW 17 Chandra Baru

Sebetulnya maksud saya adalah duri dalam pertetanggaan atau neighborhood, bukan dalam bertetangga. Saya hampir setiap hari melewati tanaman berduri entah apa namanya itu, saat berjalan kaki maupun bersepeda. Tapi tak ada kesan apapun. Lalu tadi, sebelum bersua si bunga kelentit, saya tertarik kepada si batang berduri. Klik, saya memotretnya.

Saat itulah terdengar suara seorang pria di atas motor, “Silakan ambil aja, Pak.”

Ketika saya memotret hanya melihat si helm kuning di layar ponsel. Si bapak lain yang jauh dari fokus di latar belakang itulah yang mempersilakan saya memetik tanaman. Saya segera mengenali, itu Pak Satiri, belasan tahun silam dia ketua RT di situ, saat saya menjadi warga sementara.

Aneka tanaman di pinggir jalan, di luar pagar, di RW 17 Chandra Baru

Tetapi dia tak mengenali saya karena saya bermasker dan bertopi ember. Dia tampak berusaha mengidentifikasi saat saya mendekat dan mengucapkan salam. Akhirnya saya turunkan masker dan angkat topi sebentar karena kepala botak adalah bagian dari identitas saya.

“Oh Pak Tyo! Saya kira siapa,” katanya sambil tertawa. Kami ngobrol sebentar. Dia jelaskan, sekian tanaman yang tak dia ketahui namanya di luar pagar rumahnya itu punya khasiat. Siapa pun boleh ambil. Saya tunjukkan hasil foto di ponsel saya. Dia tanya buat apa memotreti, saya jawab iseng saja.

Sepulang dari kios ATK saya teruskan memotreti tanaman pinggir jalan. Di depan sebuah rumah, pemiliknya keluar. Saya kenal, namanya Pak Suyono, saya menyapanya Mas. “Gitu aja kok difotoin, Pak,” sapanya.

“Iseng aja, Mas,” sahut saya. Itu jawaban default saya setiap kali ditanya alasan memotret.

Aneka tanaman di pinggir jalan, di luar pagar, di RW 17 Chandra Baru