Dasar Cina!

Jika menyangkut Cina dan kecinaan, banyak orang non-Cina mengalami keterbelahan diri.

▒ Lama baca < 1 menit

Zhong guo ren atau orang Cina Tionghoa

Sudah kecapaian rasanya membahas kebencian sebagian kalangan terhadap Cina — ya orang Cina atau Tionghoa, yang hidup di Indonesia, maupun orang Cina di Tiongkok dan negeri lain, dan tambah lagi kebudayaan Cina.

Meskipun demikian, dalam kehidupan sosial masalahnya belum tentu konsisten hitam putih. Dalam kasus tertentu bisa saja unsur laten terus mengendap, lalu ketika seorang non-Cina punya masalah dengan orang lain yang kebetulan keturunan Cina, muncul kekesalan, meskipun dalam hati, “Dasar Cina! Biar gimana-gimana juga Cina.”

Atau seseorang non-Cina yang kadung menganggap semua orang Cina itu tidak baik, akan memberikan pengecualian untuk yang baik, “Padahal Cina lho.”

Lalu terdengar koreksi, “Orang Cina juga gitu sama kita, nganggep jelek semua.” Kita? Orang keturunan Cina bukan kita, bukan orang Indonesia.

Tadi saya sebut persoalannya belum tentu merata hitam putih secara konsisten. Saya pernah menanya seseorang yang menyebut diri anti-Cina dan membenci apapun yang serba-Cina, “Lha situ suka bakmi, kadang pakai baju koko…” Hanya dengusan yang menjadi jawaban.

Seseorang dari angkatan yang jauh di atas saya, yang selalu berprasangka buruk terhadap Cina, saat muda suka cerita silat Cina dari O.K.T. sampai Kho Ping Hoo, film produksi Shaw Brothers sampai Golden Harvest, mengagumi Shan Kuan Ling Fung sampai Lin Ching Hsia, dan tentu gemar Bruce Lee. Tapi terhadap lagu Mandarin, atau Canto-pop, dia bilang terus terang tidak suka, bahkan melecehkan. Lalu anak dan keponakannya di rumah kemudian suka serial Meteor Garden, sementara istrinya suka Legenda Ular Putih.

Ternyata dalam keseharian, sikap seseorang bisa bercabang. Berterus terang menyebut diri anti-Cina, tapi selalu bilang gocap, cepek, gopek, dan seterusnya, serta akrab dengan kata cincai. Ketika sakit gigi dia lebih memilih obat Cina. Manakala turun berok, dia pergi ke sinshe. Dan tentu selalu menggunakan ponsel buatan Cina, apapun mereknya.

Jika menyangkut Cina dan kecinaan, banyak orang non-Cina mengalami keterbelahan diri.

Kiong Ho Shin Hi. Selamat Tahun Baru Imlek. Semoga membawa berkah bagi semua orang.

4 Comments

Zam Rabu 2 Februari 2022 ~ 01.21 Reply

di Berlin, waktu pandemi awal-awal, saya pernah diteriaki orang.. “Corona! Corona!” oleh homeless mabok.. padahal muka kami cina aja ngga, cuma ya memang tidak putih kaukasia..

saya juga berterima kasih pada orang Cina, karena merekalah produk-produk Asia, termasuk Indonesia, gampang didapat di Berlin..

sayangnya pula, tahun baru cina bukan termasuk hari libur di Berlin..

Xin Nian Kuai Le.. Gong Xi Fat Cai!

Pemilik Blog Rabu 2 Februari 2022 ~ 04.33 Reply

Orang Asia di mata mereka sama, seperti kita juga menyamakan semua orang kulit putih sbg bule

junianto Selasa 1 Februari 2022 ~ 10.37 Reply

Tatkala sy msh di kantor lama di Surabaya, bbrp kawan bercanda memanggil saya ‘Koh Jun” gara2 wajah sy kayak orang Cina.

Sekarang, tiap Senin pagi sy ke BCA dekat rmh di Solo selalu ketemu orang Cina bernama Agus (sy panggil dia Pak Agus), dia selalu menyapa saya Koh Jun. Dia, yang orang Cina, pun tertipu oleh wajah sy. 😅

Syukurlah, meski berwajah kayak orang Cina, sy enggak pernah dpt masalah — termasuk saat kerusuhan besar Mei 1998 di Solo.

Pemilik Blog Selasa 1 Februari 2022 ~ 11.40 Reply

Syukurlah Koh Jun.
BTW cara orang Jateng dan Jatim melafalkan beberapa istilah Cina memang khas, termasuk oleh warga keturunan Cina.

Di Jateng biasa saja sebutan engkoh dan enci juga tacik. Tapi di Jakarta yang lumrah Ko dan Koh, dari koko. Untuk perempuan ya Ci dan Cici.

Untuk angka, orang Cina Jateng juga menyerap lafal lokal: nggopèk dan nggojing.

Nama makanan? Capjae, bukan capcai maupun capcay. Teman saya yang wong Yoja gak terima waktu di Jakarta diketawain karena bilang capjae. Lalu dia tarik teman Cina asal Jateng untuk saksi bhw sebutan bahkan tulisan menu di rumah makan Cina juga begitu. Capjae. Tapi itu dulu.

Tinggalkan Balasan