↻ Lama baca 2 menit ↬

Label harga buatan sendiri di warung Hendri, Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Kemarin malam dalam perjalanan sepulang dari tiga warung mencari garam, lamunan saya sampai jauh: berterima kasih kepada buah peradaban bernama aksara.

Saya selalu penasaran bagaimana pemilik warung mengingat harga. Setiap kali menanya, saya beroleh jawaban, “Sama dagangan sendiri masa lupa.”

Kebetulan mereka belum lansia. Seorang ibu pemilik warung penyedia korek gas untuk umum hafal semua harga, ada ratusan macam, melebihi suaminya. Begitu pun suami istri pemilik warung dekat sana, hafal semua harga.

Meskipun demikian, pada beberapa warung sambilan, kebetulan sudah tutup semua, yang hafal harga hanya para ibu. Padahal warungnya kecil, dagangan lebih sedikit. Jika yang menjaga warung adalah suami atau anak, lalu ada soal harga, mereka akan teriak, “Maaaaa…!” Kalau harga rokok dan korek, dengan catatan si suami itu perokok, pasti dia hafal.

Nah tadi saya ke warung Oom Hendri yang rapi. Di sana hampir semua barang dia tempeli info harga, kecuali yang sedang fluktuatif harganya seperti minyak goreng dan telur.

“Saya masang harga ketika mulai blank setelah brenti ngerokok dan ngopi,” katanya pagi tadi. Sekarang dia sudah tidak blank tapi meneruskan label harga dia mulai bertahap sejak sepuluh tahun silam. Dia sudah hampir 70 tahun, Vespa tuanya bertuliskan lansia.

Aksara. Itulah alat bantu manusia untuk menyimpan informasi. Dengan tembang, cerita masa lalu memang tersimpan dan terwariskan, tapi terbatas karena tergantung pada penutur. Begitu pun cara menanam, yang diajarkan melalui praktik di sawah, seolah mudah karena sudah menjadi pengetahuan kolektif pelakunya.

Akan tetapi dengan aksara, informasi pun tersimpan dan mudah diakses siapa pun yang dapat membaca. Pengetahuan lebih mudah tersebar, dan yang lebih utama lagi dapat dikembangkan. Yang buruk tentu ada, misalnya cara merakit bom yang akan berbahaya jika dilakukan anak-anak dan teroris. Pelbagai upaya dilakukan agar laman panduan membuat bom tak dapat diakses.

Benih awal spirit revolusi kognitif, salah satu tahap penting dalam perjalanan peradaban manusia, tak terkhianati di warung pracangan Oom Hendri yang tak melibatkan pemindai barcode karena inventori tak dicatat komputer.

“Saya kasih tulisan gede bukan hanya buat saya tapi pembeli. Mereka nggak repot nanya. Ada lho pembeli yang malu nanya harga,” ujarnya.