Apa perlunya bernostalgia di tempat tidak penting? Untuk merawat ingatan.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Sebuah tempat di pertigaan Jalan Kodau dan Jalan Raya Jatimakmur Jatikramat

Mulanya kepyur sehingga saya terus mengayuh sepeda, karena Mitra10 masih jauh, lalu gerimis, tentu saya tahu sebentar lagi deras, dan saya tahu akan berteduh di mana sore tadi: sepetak tempat beratap yang saya ketahui hampir tiga puluh tahun tapi tak saya akrabi.

Ya. Tempat itu. Tempat yang dulu berlantai tanah, yang dua puluh tahun tak saya singgahi karena tak ada alasan bertajuk menunggu angkot kecil 461 dari Jatiasih, Bekasi, ke UKI, Cawang, Jaktim.

Begitu bres hujan bertempias tiba, saya sudah membelokkan sepeda di tempat itu, lalu memarkirnya di antara motor.

Dua malam lalu, dalam kantuk sambil menyetel radio, saya teringat tempat itu. Rumah papan berkerai bambu, halaman berkerikil, pelataran tanah keras, yang bisa menjadi jalan tembus untuk menghindari tikungan tajam macet.

Sebuah tempat di pertigaan Jalan Kodau dan Jalan Raya Jatimakmur Jatikramat

Lalu di belakangnya, menghadap jalan raya, ada warung sempit yang dindingnya membentuk trapesium. Itulah warung yang belum pernah saya masuki dan baru tadi saya tahu apa jualannya. Teh hangat, kopi, minuman botol, mi instan untuk dimasak di tempat, dan tahu isi. Dia buka hingga larut malam.

Dua malam lalu saya juga teringat kios servis TV tabung di situ, dan membatin apakah masih ada, karena sekarang era TV LED yang tipis dan hemat setrum. Ternyata masih ada. Tiga dasawarsa kios itu lebih bertahan. Zaman dan kemakmuran seolah tak beranjak.

Sebuah tempat di pertigaan Jalan Kodau dan Jalan Raya Jatimakmur Jatikramat

Akan tetapi dua malam lalu ada yang terlewat dari ingatan: amben kayu. Makin jarang terlihat amben di luar rumah di kampung sekitar saya. Rumah papan juga makin berkurang. Pada awal 2000-an saya masih melihat rumah berdinding anyaman kulit bambu, berlantai tanah, di Kranggan, wilayah Bekasi yang mepet Kabupaten Bogor.

Di kaveling pojokan, yang saya kenal tapi tak saya akrabi, karena tak ada orang yang saya kenal dan sebaliknya, sudah berubah. Ada sekian kios berdinding beton ringan.

Pelataran kosong yang menjadi pemintas untuk potong kompas telah menjadi toko pakaian dan minimarket. Tukang ojek di pertigaan pun terus menyusut karena tersingkirkan ojek daring. Atau, bisa juga mereka berpindah ke jalur ojek beraplikasi ponsel.

Sebuah tempat di pertigaan Jalan Kodau dan Jalan Raya Jatimakmur Jatikramat

Saya tak pernah mengenal orang-orang di situ, begitu pula mereka terhadap saya, karena dulu saya selalu hanya sebentar, begitu turun dari ojek sudah mendapatkan angkutan merah tungau.

Di tempat lain, semisal eks-terminal Cililitan dan Stasiun Kalibata, ada orang yang saya kenal, memberikan sepetak tempat berteduh di bawah payung atau menyediakan kursi plastik untuk duduk. Orang-orang yang memberi kode jika ada copet.

Dalam seperempat jam berteduh saya seperti napak tilas. Nostalgia di tempat antara asing dan kenal bisa menjadi kesempatan dadakan. Saya beruntung beberapa kali mengalami. Atau mungkin biasa saja, hanya karena saya saja yang membiarkan impresi merasuki diri?

Sebuah tempat di pertigaan Jalan Kodau dan Jalan Raya Jatimakmur Jatikramat

Senja menggelap. Hujan sudah reda. Saya harus melanjutkan perjalanan dan segera menyingkir dari orang-orang tak bermasker itu.

8 thoughts on “Warung trapesium di depan balai-balai

    1. Dalam konteks tempat ini, saya sudah lama tak naik angkot dari sini.

      Kalo dari rumah, sebelum ada Covid-19, ketika masih kerja, kadang saya naik CH dari pangkalan di kompleks sampai Pinangranti. Kadang naik Gojek. Kenapa? Naik angkot ndak kepanasan. Dulu kalo dari Puncak, saya minta diturunkan di Jasa Marga TMII, jalan 200 meter, naik angkot CH, duduk manis, sampai.

      Tentang amben dan lincak penjual makanan memang makin jarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *