Lihat foto dan kapsi di atas. Apa artikel yang Anda bayangkan telah menyertai foto itu? Tata kota? Bukan. Ruang publik? Tidak. Ruang terbuka hijau? Salah. Yang benar adalah bau badan sebagai bagian dari seksualitas manusia. Sesuatu yang purbawi bahkan animal. Bukan isu baru. Kompas hari ini mengangkat feromon karena ada temuan baru, afirmatif, dari riset.
Yang menarik bagi saya justru dua foto ilustrasi artikel setengah halaman itu. Foto kedua tentang dua insan tadi. Adapun foto pertama, yang utama, adalah tentang pernikahan massal.
Hubungan kedua gambar dengan bau badan terutama ketiak?
Ya kita hubung-hubungkan saja. Perkawinan dan kencan berhubungan dengan seks, jadi ada urusannya dengan feromon.
Pilihan foto kagok
Bagi saya foto pilihan Kompas itu aneh karena koran itu termasuk media yang memiliki sejumlah fotografer bagus dan mampu menggaji. Untuk foto berita, Kompas unggul.
Untuk foto stok bagi artikel? Saya tak tahu. Selama ini saya hanya tahu pengguna bank foto, berbayar, biasanya dari Shutterstock, di koran Palmerah itu hanya bagian iklan, untuk artikel Klasika.
Untuk topik feromon ini Kompas tampak canggung. Kalau menampilkan ilmuwan peneliti tentu aneh kecuali berhubungan dengan Nobel dan ganjaran reputabel lain.
Akan tetapi jika Kompas menampilkan foto ilustratif intimasi pasangan, dengan model Indonesia, rasanya di luar kelaziman editorial media itu.
Oke kita tinggalkan Kompas — maksud saya Kompas.id. Bagaimana bahasan feromon di media lain? Bisa ditebak. Misalnya…
- Menampilkan pasangan
- Menampilkan perempuan
- Gabungan keduanya yang memancarkan keintiman
Bukankah itu wajar? Ya. Lumrah. Berlaku untuk aneka artikel, bukan berita, seputar asmara, kencan, psikologi, kesehatan reproduksi, dan seks.
Pemilihan foto di era banjir gambar
Urusan pemilihan foto ilustratif umumnya media ini menarik kita amati, tak hanya dalam artikel seputar pria dan perempuan tetapi juga kesehatan, desain rumah, keuangan keluarga, seni perdapuran, hingga pengasuhan anak.
Ada kesamaan pola bagi umumnya media, misalnya…
- Menggunakan foto stok berbayar maupun freemium, atau malah main comot dari sebuah situs — sampai lima enam tahun lalu masih ada kredit “istimewa” dan “internet”, meneruskan tradisi cetak
- Sebagian foto dari luar negeri, jika menyangkut orang, umumnya berwajah kaukasoid
- Jika menyangkut tata ruang, meskipun Indonesia modem tak beda dari Barat, sangat tampak itu di luar negeri
- Untuk benda tertentu tampak itu bukan di Indonesia, misalnya setir kiri dalam kabin mobil dan pemanas ruang
Kenapa bisa begitu? Mengejar tenggat. Umumnya content management system (CMS) mengharuskan penyertaan gambar. Tanpa gambar, berita maupun artikel tidak bisa tertayang.
Misalkan alur dan jenjang keranjang redaksi memungkinkan penulis awal tak menyertakan gambar, penyunting tahap berikutnyalah yang kerepotan, harus minta gambar ke desk foto atau berburu sendiri.
Dalam ketergesaan, gambar yang diperoleh kadang kurang pas. Dari segi apa? Kedekatan psikologis.
Seorang editor visual sebuah media daring pernah mengingatkan seorang awak redaksi agar mengutamakan wajah asiatik dan melanesian saat mengambil gambar legal dari bank foto berbayar maupun gratis (Creative Commons).
Bukan karena rasis, xenofobia, atau menolak multikulturalisme tapi semata atas nama proksimitas psikologis: serasa melihat tertangga.
Dalam amatan sekilas saya, jadi bisa salah, media Amerika lebih dulu terbuka, menampilkan orang hitam dan Asia dalam foto ilustrasi ketimbang media Eropa, kecuali Prancis. Hal sama berlaku untuk iklan. Dugaan dini saya, lagi-lagi tolong Anda koreksi, Amerika lebih dulu menerima keberagaman karena imigran non-putih.
Jauh sekali bualan saya. Maaf.
Mari kembali ke pokok soal. Lalu untuk artikel feromon Kompas, misalnya tak didesak tenggat, ilustrasi apa yang tepat untuk menggantikan pasangan di bawah pohon di Taman Waduk Pluit, Jakut, dan pernikahan massal di Banyumas, Jateng?
5 Comments
Saya iseng eh coba tanyakan ke kawan saya yang itu, Mas Google, dpt artikel yang dibagikan Paman. Tapi beda foto2nya, pakai foto master dan foto pelengkap ttg pernikahan massal di Barat.
https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2022/01/17/berkomunikasi-lewat-feromon/
Kalau foto yg di versi ini 👆, terasa ada hubungan antara feromon dengan pernikahan massal dilihat dari kapsinya.
Versi yang dishare Paman, foto jadi terkesan asal tempel (atau dlm istilah paman : aneh) karena foto utama pernikahan massal di Banyumas kapsinya sama sekali tak menyebut feromon, pun demikian kapsi foto pendukung.
1. Beda waktu terbit. Versi cetak dan e-paper terbit dini hari, dengan “pers klaar” sebelum hari berganti, 16 Januari malam, atau malah sebelumnya
2. Versi Web terbit 17 Januari pukul 07.30. Terlepas dari scheduled post atau bukan, ada jarak waktu dan kesempatan dari tenggat cetak
Iya, Paman.
Cuma, maksud saya, mengapa editor foto (atau siapapun) yang ngurusi kapsi di foto2 dlm versi yang dishare Paman itu kok nggak nyebut2 feromon sehingga kesannys fotonya asal tempel (aneh).
1. Wah ndak tau saya soalnya nggak ikut rapat evaluasi, wong saya cuma pelanggan
2. Saya nggak kenal manajer produksi di sana 🙈
Baiklah (lagi-lagi) 🙈