Saya temukan ini di meja kerja, di sela gelas alat tulis. Saya langsung teringat peristiwa memalukan kenapa sampai punya ini. Suatu siang, tiga empat tahun lalu, saya akan naik KRL dari Stasiun Tanahabang ke Stasiun Kebayoran Lama. Ternyata kartu Flazz BCA saya ditolak oleh sensor di portal masuk.
Satpam menghampiri, mempersilakan saya ke loket. Di loket, petugas meminta saya membeli tiket harian berjaminan (THB). Saya menolak karena, “Flazz saya masih ada isinya. Saya ke loket ini supaya bisa naik kereta.”
Dia ketus, “Maaf, Pak. Nggak bisa!” Saya tanya kenapa, dia jawab dengan nada tak sabar, “Hanya bisa e-Money Mandiri, soalnya kemarin sistem diperbaiki!”
“Mas, jangan aneh. Sebelumnya nggak ada masalah, setelah diperbaiki kok nggak bisa. Sekarang gimana caranya saya bisa masuk dan berangkat tanpa beli THB.”
Dia bergeming, “Pokoknya nggak bisa.” Saya bilang, “Berarti sistem Anda busuk, jelek.”
“Nggak, Pak.”
“Iya, jelek. Busuk. Sistemnya bodoh.”
“Nggak.”
“Ya. Anda juga bodoh. Akui saja. Kalau Anda mengakui, saya mau beli THB.”
Satpam datang, “Maaf, ada masalah apa, Pak?”
“Oh, santai saja, Mas. Saya nggak ada masalah. Yang bermasalah teman Anda dan sistem buat tapping kartu. Bermasalah dalam arti bodoh, busuk,” jawab saya dengan sareh dan lunak padahal tensi sudah naik.
“Maaf, Pak. Bukan bodoh tapi karena anu anu anu…,” dia mengulangi penjelasan petugas loket.
“Terserah pakai penjelasan apa. Saya cuma butuh masuk, naik kereta, mau beli THB setelah Anda semua mengakui bodoh.”
“Pak…” kata satpam.
“Mas petugas loket bodoh, sistem bodoh, semoga Anda nggak.”
“Ya, Pak.”
“Ya apanya? Bodoh semua?”
“Ya,” jawab satpam.
“Sip. Terima kasih, Mas,” saya salami dia, lalu saya menengok ke loket, “Saya beli THB.”
Bersitegang bukan contoh bagus. Ternyata menurut sebuah artikel psikologi, orang marah cenderung menganggap orang lain bodoh. Setelah saya berada dalam gerbong, saya malu. Dalam hati saya meminta maaf dan berdoa. Makin tua mestinya bisa sabar. Jangan menyakiti orang sambil mempermalukan diri sendiri.
Apa salah mereka, para petugas? Mereka yang menjadi ujung tombak, berhadapan langsung dengan konsumen, selalu yang pertama menjadi sasaran amarah. Yang sakit hati bukan hanya mereka tetapi juga anak dan istrinya.
Lalu dalam kasus ini siapa yang bodoh, karena akhirnya ikut aturan pihak “lawan” karena membeli THB?
6 Comments
mungkin ini penyebab di Jerman naik kereta ga ada pembatas pembayaran.. ngga bisa dibilang sistemnya bodoh.. orang Jerman ini apa-apa dikeluhkan dan diprotes.. 🤣
btw saya ingat peristiwa ini. sempat bikin geger juga karena ganti mesin dan cuma bisa terima e-Moneu Mandiri.. 😅
Apa-apa dikeluhkan dan diprotes. Teman saya dulu saat jadi loper di Jerman naruh koran bukan di tempat biasanya dimarahin pelanggan
Saya jadi pengen belajar marah secara sereh dan lunak, biar ketok mpriyayeni.
Ngécé
🏃🙈
Saya juga sering gitu, Paman : muring2 ke petugas jika menemui jasa/pelayanan yg menurut saya ndembik, setelah itu nyesel.
Tapi suatu ketika terulang lagi, dan lagi. 🙈
Musuh terbesar kita adalah diri kita 🙏