Kalaupun aku pernah berarti bagi orang-orang yang aku kasihi, itu berlaku di ranah lain, bukan blog.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Daun alamanda yang sudah mengering setelah kemarin layu

Dan kau bertanya cara bermedia sosial macam apa yang cocok bagimu sekaligus dapat menghimpun penggemar dan kelak mendatangkan uang.

Aku tak mampu menjawab. Kau katakan lagi, bermainlah di YouTube, TikTok, dan Instagram, lalu kau bertanya bagaimana cara meraih popularitas.

Lagi, aku tak mampu menjawab. Masalahmu, kau bilang begitu, adalah bagaimana dirimu setelah tak muda lagi mendapat kehidupan baru melalui medsos.

Aku tak mampu menjawab.

Lalu kau katakan, menurut anakmu buatlah konten yang kontroversial, dengan isu apapun, pasti cepat laku. Lalu kau tutup dengan tanya, benarkah begitu?

Kali ini aku tahu jawabannya: mungkin.

Karena tak puas kau bertanya bagaimana cara berkontenku. Baiklah aku jelaskan. Aku masih memililih blog karena sesuai dengan diriku. Sesuai dari sisi usia, selera, kebiasaan, dan apa yang aku yakini sebagai kepribadianku. Blogku adalah aku.

Misalnya aku merasa cocok dengan YouTube tentu akan akan aku lakukan dengan isi sesuai seleraku. Hasilnya tentu konten orang tua yang tak aku usahakan memuda dan aku tahu risikonya: takkan laku. Sudah banyak konten orang tua, dari yang lucu, aneh, tertinggal waktu, hingga yang tak jelas. Tapi kalau aku merasa nyaman apa salahnya? Tak beda dari cara ngeblogku.

Konten blogku adalah pancaran orang masa lalu, jauh dari binar belia, ketika bercerita hari ini pun seperti berusaha menarik tangan pembaca agar bersedia memundurkan waktu. Tapi aku tak malu. Memang inilah aku.

Oke, katamu. Kau akan mencari celah di YouTube dan TikTok tanpa menyamarkan ketuaan tapi orang muda mau mendekat, lalu dari receh demi receh angka pun meningkat.

Kutunggu hari ini belum juga tertampak kontenmu seperti kau niatkan akhir 2020, bukan 2021, tapi setelah tadi aku menagih kau bilang masih mencari ilham.

Kau bertanya tentang blogku. Kukatakan seperti daun alamanda kering di pergola yang tadi aku foto di bawah muram mendung dengan kepyur butiran halus gerimis lalu teringat percakapan kita.

Kemarin daun itu layu dua hari, pagi tadi sudah kering namun tangkai belum tanggal. Pasti yang akan terjadi, seperti kata Chairil, sekali berarti sudah itu mati.

Aku dan blogku akan pernah berarti, hanya sekali. Untuk aku sendiri. Aku usahakan tak merugikan orang lain.

Kalaupun aku pernah berarti bagi orang-orang yang aku kasihi, itu berlaku di ranah lain, bukan blog.

6 thoughts on “Bermedsos sesuai usia dan selera

  1. Terus terang saya sering minder kalau lihat blog saya (yg pake nama skoy = keren, bagus, asyik, dan semacamnya) tapi ternyata ndembik dibanding blog paman (yang pakai nama gombal) tapi skoy bingits.

    Tapi sy kemudian bersyukur bahwa saya ternyata masih mampu menulis (meski yo gur ngono-ngono kuwi), mampu memotret (meski sak iso-isone), dan mampu mengolah foto meski hanya memotong dan mengubah ukuran).

    Berarti ini memang soal kemampuan yang berbeda antara Paman dan saya. Antara lain dlm hal menulis, memotret dan mengolah foto-gambar.

    Seserius apapun saya berusaha, tetap saja hasilnya ndembik. Tapi saya tetap berusaha serius (dalam ukuran saya) saat ngeblog. Jadi, meski minder, saya tetap bergairah untuk ngeblog — setidaknya untuk saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *