Melihat dus paket ini saya membatin satu hal. Mata kita sudah terbiasa dengan QR code. Mulai kapan? Sejak smartphone menjadi milik hampir setiap orang. Dan QR code kian lazim setelah vaksinasi Covid-19. Orang dipaksa memindai QR code.
Sebelum QR code adalah barcode. Mulanya, 1980-1990-an kita hanya melihat kode batang pada produk luar negeri, termasuk majalah dan koran. Tapi kita masih berjarak karena tak berkepentingan. Hanya para kasir supermarket yang berurusan dengan barcode. Jika barang belum punya barcode, kasir terpaksa menyalin kode SKU pada label.
Yang pasti sampai menjelang akhir 1990 barcode dianggap keren, modern, simbol kemajuan teknologi. Maka Radio Trijaya dulu, semasa dimiliki Bimantara, berlogo barcode yang dipakai selama 1991-2004. Adapun majalah Humor, yang semula ingin menjadi pemegang waralaba Mad (Amerika), menggunakan barcode pada sampul untuk melucu. Saat itu, media cetak Indonesia belum lazim ber-barcode. Hanya satu majalah yang punya, tapi untuk cengengesan, misalnya terbaca scanner entah apa informasinya.
Media cetak Indonesia mulai menerapkan barcode baru pada awal 2000-an. Banyak toko, terutama Carrefour, hanya mau menjual majalah yang berkode batang untuk mempermudah inventori.
Saat itu saya bekerja di sebuah majalah, bukan di bagian artistik maupun sirkulasi. Tapi bagian artistik majalah lain, si sulung dalam grup penerbit itu, lebih tua dari koran utamanya, kadang meminta tolong saya untuk membuatkan barcode vektor agar bisa dimasukkan ke desain sampul. Padahal dengan laman generator daring urusan lekas beres.
Setelah barcode lumrah, giliran QR code. Simbol modernitas pun berganti. Dengan BlackBerry, QR code cepat dibaca. Saya pun ikut snob, memasang QR code dalam kaus promo blog, sebelas tahun silam. Kalau dipikir sekarang ya menggelikan.
¬ Foto sampul Humor: Wikipedia Malaysia
8 Comments
saya coba pindai barcode logo Trijaya FM dan berharap barcode-nya berbunyi “Trijaya FM” atau sebangsanya, tapi ngga dikenal.. 🤣
kode barcode (dalam berbagai variasinya) masih digunakan, terutama di ekspedisi, tiketing (kereta dan pesawat), dan komponen elektronik (label SKU). bentuknya tidak lagi persegi panjang, tapi persegi.
dibaca dengan laser juga, di mana jumlah datanya kecil (namun muat lebih banyak dibanding barcode konvensional) dan tidak perlu pemindai optik (kamera) seperti pada kode QR.
Serius amat. Wong itu barcode ngawur, cuma buat logo 🤣
Iya barcode msh digunakan untuk banyak hal. Di Tokopedia ada yang melayani stiker barcode sampai 2.000 SKU.
Seingat saya, sampai sekarang saya pakai QR code hanya untuk WhatsApp Web😬
Untuk keperluan PeduliLindungi pun saya belum pernah karena bbrp kali nginduh apl itu bisa, saat mendaftar (memasukkan data diri) selalu eror sehingga apl akhirnya saya hapus.
Saat ke mal, saya bermodal kartu vaksin dan KTP.
Soal ketersediaan pilihan. Di Gojek juga ada QR code kan? Warung kecil ayam bakar dekat saya terima pembayaran via Qris dan e-wallet lain
Resto istri saya, kalau nggak salah, pakai QR code untuk m-banking BCA. Dulu yang mbikinkan bukan saya (krn saya nggak mudheng) tapi mbak kasir.
Ya itu. Betul.
ahah
waktu resepsi, tamunya suruh bawa undangannya karena ada barcode tercetak di sana, supaya mereka ga perlu tulis tangan.
malah pada komplen kesannya belanja di mini/super-market
Mmmmm kalau tamunya muda semua, sebaya mempelai, gak soal sih menurut saya. Kalau mayoritas adalah relasi ortu kok kurang pas gitu 🙏