Polisi tidur: Soal adab yang tak kunjung beres

Dari dulu selalu terjadi pro-kontra karena masih ada pengendara pewaris tunggal jalan pribadi dari kakek moyang.

β–’ Lama baca < 1 menit

Polisi tidur yang sudah diusahakan landai

Polisi tidur* (poldur)? Dari sisi penamaan saja sudah mencerminkan alam pikir orang Indonesia: hanya patuh aturan kalau ada polisi. Polisi yang sedang berbaring pun terpaksa ditaati karena mengandung upaya pemaksa, yaitu tonjolan yang bergeronjal.

Jangankan bagi sepeda, sepeda motor, dan mobil; bagi pejalan kaki pun poldur mengganggu. Begitu pula bagi pendorong kereta bayi dan pemain otopet serta sepeda roda tiga. Bagi penjual makanan berkuah yang mendorong gerobak, poldur juga mengganggu, apalagi kalau terjal, pas menanjak pula.

Lalu kenapa poldur dibikin? Tak ada jalan lain mengajarkan adab di jalan. Dalam praktik, poldur yang landai dapat diabaikan oleh pemotor — bisa akamsi maupun orang luar. Maka dulu ada saja papan maklumat dengan desain sekadarnya: ngebut benjut.

Polisi tidur yang masih tampak sebagian, selebihnya remuk

Di sebuah kompleks pada suatu masa tak semua jalannya berpoldur. Lalu di salah satu jalan ada seorang perwira militer yang berinisiatif melintangkan beberapa poldur dari semen dan bata plus tulang besi pada sekian ruas. Dia yang mengongkosi.

Begitu poldur kering, korban pertama adalah Mitsubishi Lancer hijau dinas Pak Perwira. Poldur terlalu terjal. Pak Tukang tak dapat mengira-ngira ketinggian.

Saat itu yang punya mobil masih beberapa orang, sebagian besar adalah mobil dengan ground clearance tinggi, dari Suzuki Carry sampai Toyota Kijang. Korban berikutnya setelah Pak Perwira adalah taksi yang ditumpangi warga: nggadhuk terus. Lalu sedan-sedan orang luar.

Akhirnya poldur diperlandai dengan memperlebar badan. Agak aman. Tapi taksi berpenumpang tiga plus sopir tetap nggadhuk.

Lalu dalam perjalanan waktu, kompleks tersebut sering tergenang setulang kering. Poldur menghambat aliran. Maka ada poldur yang dibongkar. Ada pula yang dibobok sebagian. Bagi pemotor, hasil bobokan adalah celah untuk melaju tanpa kendala.

Sebetulnya ada cara yang sopan untuk mengajak pengendara pelan. Dengan memasang speed bump. Tapi kalau hanya satu strip apakah efektif?

Jadi? Masalahnya bukan pada desain poldur melainkan adab. Sepanjang pemotor bisa angkat pantat, poldur layak dilibas.

Di beberapa daerah, pemasangan poldur ada syaratnya. Ada perda yang mengatur. Juga ada Keputusan Menhub No. 3/1994 yang mengatur ukuran poldur.

https://twitter.com/rizqifarisi/status/1379123625458999298?t=5HX-gs-_r9RjH_auEmEHFQ&s=19

*) Ada yang berpendapat, polisi tidur adalah padanan sleeping policeman

6 Comments

Zam Minggu 16 Januari 2022 ~ 03.07 Reply

polisi tidur aja ngerepotin, apalagi bangun..

πŸ‘€

Pemilik Blog Minggu 16 Januari 2022 ~ 03.30 Reply

Terutama pagi hari πŸ™ˆ

Muhadi Jumat 14 Januari 2022 ~ 16.42 Reply

Klo naik sepeda ajang buat jumping

junianto Jumat 14 Januari 2022 ~ 16.01 Reply

Kalau nemui polisi tidur, dari jauh saya lihat ada enggak celah untuk melaju tanpa kendala. Kalau ada, saya lewat situ — banter😁 Kalau nggak ada, ya lewat gundukannya, mboten banter.

Pemilik Blog Jumat 14 Januari 2022 ~ 16.33 Reply

Naluri roda dua, termasuk sepeda, begitu. Persoalannya, apakah naluri banter untuk harus paralel naluri emoh njondhil πŸ™ˆ

Tinggalkan Balasan