“Aku nelepon aja ya, Mas. Capek kalo nulis di WA,” tulis Ranti Mlenyèk. Lalu kring, dia langsung ke pokok soal, “Seminggu ini ada aja berita PSK. Coba di-Google. Yang ini eufemisme berbau legalisasi. Kalo WTS kan nggak ada bau pekerjaan yang seperti disamain pekerjaan lain.”
“Lalu menurutmu sebutan apa yang pas?”
“WTS aja. Kan nggak punya susila?”
“Lalu konsumennya disebut apa?”
“Konsumen? Kayak jual beli aja. Eh, apa ya? Kalo gaya jadul ya pria hidung belang kan? Padahal hidungnya mulus tanpa komedo, malah glowing.”
Ranti curiga, sebutan pekerja seks komersial itu pengaruh feminis dan aktivis HAM.
“Oh, gitu? Kementerian PPPA juga nyebut PSK. Berarti legalisasi? Kalo nyebut WTS kayak penghakiman moral padahal pelakunya bukan cuma perempuan,” sahut Kamso.
“Kembali ke istilah lama aja, Mas. Pelacur.”
“Atas nama eufemisme banyak yang nggak setuju, Ran. Padahal ini relatif netral, dalam arti apa adanya. Nyatanya istilah tempat pelacuran masih dipakai media bareng prostitusi. Rendra berpuisi bersatulah pelacur-pelacur Kota Jakarta. Guru kesusastraan harus bahas kalo murid nanya.”
“Nah itu dia!”
“Sayangnya bahasa Indonesia setahuku belum nyerap prostitute dengan lafal sini. Kalo media Barat, misalnya BBC, pakai kata prostitution tapi nyebut pelakunya sex worker.”
“Kalo lonte, Mas?”
“Umumnya orang menganggap lebih kasar dari pelacur. Emang sih Iwan Fals nyanyi Lonteku. Tardji pernah nulis warna hijau yang kelonte-lontean selain hijau lembut pukimak. Anggap saja itu lisensia puitika, tapi kan nggak bisa diangkat dalam pidato resmi. Eh, Rizieq pernah ding bilang lonte. Tapi yang ada di KBBI kan nggak berarti boleh diucapkan kapan saja di mana saja… ”
“Lonte dari bahasa apa, Mas?”
“Setahuku dari bahasa Jawa dengan ‘t’ tebal. Artinya kuwangwung atau kumbang badak, hama kelapa.”
“Jadi kita pakai sebutan apa yang bukan PSK, Mas?”
4 Comments
Pelacur, menurut saya lebih “netral” dibanding lonte (atau lonthe kalau di Jawa Tengah).
Tapi dahulu saat saya pilih pakai kata pelacur dalam teks berita, atasan saya bilang itu kasar meski ada dalam KBBI.
Ah, kita sudah berkali-kali bahas ini ya Paman, tapi tetap saja muncul kontroversinya.
Yah itulah bahasa. Ada saja masalahnya karena bahasa menyangkut rasa. Apakah nyaman di telinga jika seorang wali kota, misalnya, berpidato, “Kita akan menertibkan para pelacur!”?
Atau seorang komandan regu satpol PP saat menertibkan warung, berteriak, “Kalian para pelacur nggak boleh di sini lagi!”
kalo di media sosial namanya “cewek BO”, paman.. atau “angel”..
Yah begitulah. Ada yang lagi hamil dan kayak jadi nilai lebih. 🙈