“Bingung nih, Oom. Dummy undangan udah diperiksa bokap nyokap, tapi belum approved. Di ortunya Kembang Telon juga,” keluh Dimas Tawon.
Kamso menanya apa masalahnya. “Nggak ada gelar sarjana mempelai. Padahal kami sama-sama tamat S2, Oom.”
“Oh, mungkin kalian diminta nikah setelah dapat doktor?”
“Hahahaha. Oom bisa aja. Saya dan Kembang kan bukan dosen atau periset, nggak butuh doktor.”
“Ya udah, ikutin aja. Apa sih susahnya nyenengin ortu? Lagian kawin kan cuma sekali, semoga gitu.”
“Buat kita berdua ini soal prinsip, Oom. Nggak ada bagusnya masang gelar di undangan. Juga malu ama kolega ekspat kalo dibaca. Sebenarnya bukan undangan buat acara gede sih karena pandemi, lebih ke pemberitahuan.”
“Udahlah turuti aja.”
“Kenapa ya Oom orang Indonesia kagum sama gelar?”
“Mungkin karena dulu sekolah itu susah. Jadi sarjana muda aja bangga, bisa B.A. bisa B.Sc..”
“Padahal tamat S1 sini, nerusin di luar dianggap undergraduate.”
“Terus apa masalahnya, Dimas? Kan gelar beneran, bukan gelar palsu?”
“Gelar akademis udah inflasi. Kelewat banyak. Apa artinya masang gelar kalo males baca, nulis bahasa Indonesia dan Inggris aja suka salah?”
“Ya tergantung keperluan. Di dunia akademis, gelar harus dipasang. Emang sih di tabel jadwal mengajar di FE UI pernah saya lihat cuma nama dosen, top semua, tanpa gelar. Tapi kan cuma tabel, harus ringkas.”
“Lalu?”
“Di acara protokoler, MC nyebut gelar lengkap Jokowi, tapi di tanda tangan UU dan Keppres cuma Joko Widodo. Para menteri pendidikan, dan dirjen dikti, juga cuma ditulis nama, karena yang ditandatangani adalah dokumen birokrasi negara, bukan pengesahan skripsi, bukan dokumen universitas.
“Di perusahaan swasta, CEO tamatan Amrik nggak masang gelar. Emang sih dulu ada koran daerah yang masang gelar semua redakturnya.
“Padahal di media lebih gede, terkenal dengan litbangnya, yang punya beberapa doktor, nggak pada masang gelar.”
Tiba-tiba Dimas tersedak menahan tawa. Gelas kertas kapucino terguncang, tutupnya terlepas, isinya tumpah.
Β¬ Gambar praolah: Shutterstock
7 Comments
kalo Haji termasuk gelar juga ngga ya, paman? gelar yang cuma bisa naik gak bisa turun..
Iya, sebut saja gelar. Tapi tak semua orang yang sudah beribadah haji memasangnya. Saya nggak tau apakah orang Saudi termasuk yang tidak memasang gelar haji π
Saat masih bekerja di Surya, sekred membuatkan kartu nama saya, dilengkapi gelar Drs π pidihil saya ndak minta pakai gelar. Saya nggak protes, wong itu memang gelar saya, yang saya peroleh setelah kuliah tujuh tahun.π¬
Lha yes πππ
Btw di ijazah tulisannya bukan Doktorandus kan? π
Waduh apa ya? Saya lupaππ. Apa Sarjana Ilmu Komunikasi ya? Tapi ke mana-mana kalau ditanya gelar, jawab saya Doktorandusπ¬
Mestinya ijazah Jokowi juga bukan Insinyur tapi
Sarjana Kehutanan. π