“Itu gara-gara Giring nginspeksi bakal sirkuit Formula E yang masih semak belukar, hujatan nggak brenti. Soal dia itu dulu DO diangkat terus. Padahal DO kan belum tentu gagal ya, Oom?” tanya Hadi Penguk.
“Kalo drop out ya jelas gagal, apapun penyebabnya,” sahut Kamso.
“Tapi biarpun nggak jadi sarjana, banyak orang DO yang sukses kan, Oom?”
“Ukuran sukses mah susah. Bisa cuma klaim diri, bisa karena basa-basi orang lain, atau entah. Kalau ukuran gagal kan lebih gampang. DO itu gagal menyelesaikan pendidikan. Kalo mahasiswa ya gagal jadi sarjana. Kesian ortu kalo anaknya kuliah gak pake biaya sendiri. Kalo di seminari ya jebling, tapi kan nggak diongkosin ortu.”
“Iya sih. Tapi apa ya…”
“Kasus DO Giring jadi rame karena dulu dia DO dari Paramadina saat rektornya itu Anies. Padahal mungkin dulu Anies nggak kenal Giring itu siapa, dan Giring nggak nyangka Anies akhirnya jadi gubernur DKI. Giring beralasan DO karena nggak mau ngerepotin ibunya dan dia pengin berkarier di musik supaya bisa menghajikan ibunya.”
“Orang-orang hebat yang dulu DO itu kalo kuliah sampe sarjana mungkin malah biasa aja ya, Oom?”
“Sejarah nggak kenal asumsi, hipotesis, atau apa gitu. Soalnya seorang manusia nggak bisa sekaligus jadi dua atau lebih dalam waktu yang sama, persis plek identitasnya secara fisik maupun kepribadiannya dan inteligensinya, cuma beda nomor KTP.”
“Temen Oom banyak yang DO?”
“Temen saya yang Pedro, pemuda drop out, dikit. Lebih banyak yang jadi sarjana, beberapa jadi doktor, bukan mondok di kantor, bahkan sudah profesor.”
“Dari Pedro yang dikit itu pada jadi apa?”
“Macem-macem. Salah satunya saya.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
4 Comments
yang sarjana, lulus, dan sukses sebenarnya banyak.. karena saking banyaknya, jadi “biasa aja”.. kalo yang drop out terus sukses, ngga sebanyak yang sukses.. makanya hebring, paman..
Oh iya ya. Bisa jadi. Karena gak lumrah 🤣
Tetangga yang juga kakak kuliah saya DO karena tidak merampungkan revisi skripsinya. Tapi itu tidak ngaruh ke profesi dan kariernya — bekerja di Pikiran Rakyat Bandung hingga pensiun sekian tahun silam dalam jabatan Redpel kalau tidak salah.
Tapi bagi saya rekrutmen sejumlah, bukan semua maupun setiap, pekerjaan perlu mensyaratkan gelar kesarjanaan maupun diploma, atau sertifikat, untuk memperjelas kualifikasi. Juga, untuk membatasi pelamar supaya tak merepotkan penyigian atau seleksi.
Sedangkan di bidang jurnalistik, secara umum gelar tak terlalu masalah. Terutama dulu. Sudah biasa wartawan tak rampung kuliah. GM juga bukan sarjana 🤣
Tapi ada media yang dalam boks redaksi menyebutkan gelar semua redaktur. Salah satunya koran Jogja. Sementara sebuah koran besar di Jakarta, yang redaksinya berisi bermacam orang, termasuk Pedro, tak menyebutkan gelar doktor beberapa wartawannya. Bahkan gelar doktor kepala litbang (dulu) pun tak disebut padahal dia, sudah almarhum, adalah cendekiawan terkemuka, salah satu motor jurnal Prisma.