Tadi saat melepas si bungsu hendak berangkat, saya melihat sekuntum kemboja di depan rumah. Saya ingin memotret kembang itu lagi. Harus jongkok untuk mendapatkan sudut pandang rendah. Saya sekalian ingin menguji kepedulian orang ketika melihat di pinggir jalan ada orang bersarung jongkok memegang ponsel.
Pengendara sepeda motor biasanya memperlambat laju, dan menjaga jarak, padahal posisi saya di pinggir jalan. Mereka bilang, “Permisi, Pak…”
Pejalan kaki? Umumnya mereka lewat terus, cuma menjauh sedikit, kecuali jika mengenal saya. Misalnya seorang tetangga yang saya panggil Bude. Dia tetap melangkah bergegas tapi sempat menanya, “Lagi ngapain Mas jongkok di situ?”
Seorang penjual soto terus mendorong gerobaknya, dengan menjauhi saya, seraya bilang permisi numpang lewat.
Ternyata dia dipanggil tetangga saya untuk ditanya apakah jualan bubur kacang hijau. Sudah kadung mendekati pemanggil, akhirnya dia balik badan. Dia bilang permisi lagi. Saat itulah ada lalat kecil menghinggapi kembang. Namun shutter lag atau jeda rana tak mampu menanggapi perubahan situasi dengan cepat. Lalat itu pun keburu kabur. Saya tak sempat mengatur fokus untuk hanya membidik dia.
Tak mudah memang memotret dengan ponsel biasa tanpa alat pemegang berupa apapun — dari tripod, remote controller, sampai grip dengan tombol rana macam Miggo Pictar yang harganya tak sepadan dengan harga ponsel — apalagi jika secara dadakan karena dorongan impulsif.
Meskipun demikian, sesederhana apapun alat sebaiknya kita terima kekurangannya dan kita manfaatkan kelebihan dirinya. Seminim apapun kelebihannya.
Soal lain? Salah satu hasil salah pencet di layar adalah video ini. Padahal saya tak ingin bikin video.
4 Comments
soal salah pencet bikin video ini saya sering mengalami..
Lega saya. Ternyata punya kawan senasib 😁
Andai tadi saya lewat, saya akan menyanyi refrain lagu Pak Tua : Pak tuaaaaa, sudahlaaaaah… 🏃🏃🏃🏃
BTW foto-fotonya, pun videonya, skoy!
Lalu Pak Tua menjawab, “Wahai anak muda apa maumu?”