Sudah jamak dalam pembungkusan makanan lebih dari satu. Kalau ada yang isinya berbeda pasti ditandai. Bisa dengan jumlah karet gelang sesuai level kepedasan, bisa pula dengan cara lebih simpel: merobek sudut kertas bingkai.
Kalau bungkusnya pakai daun tentu lebih praktis dengan mengatur jumlah biting.
Tetapi apakah hal simpel selalu lancar di lapangan? Saya pernah mendengar cerita seorang anak ditugasi membeli makanan. Saya lupa itu apa namun anggap saja nasi uduk, seperti yang saya beli pagi ini.
Entah siapa yang memulai kesepakatan, penjual ataukah pembeli, intinya yang tanpa bihun ditandai dengan bungkus robek. Ternyata dari sepuluh pesanan, yang delapan tanpa bihun.
Tak salah, hanya kurang praktis. Kenapa bukan yang minoritas yang ditandai, karena ini bukan dalam kehidupan sosial dengan keragaman latar primordial dan orientasi seksual warga?
2 Comments
Ini sama dengan cara simpel saya pas membeli sarapan yang isinya berbeda —biasanya tiga bungkus, karena isi rumah ada tiga orang.
Pernah terjadi juga, sudah saya tandai dengan sobekan bahwa itu untuk anak saya karena nasinya lebih banyak, ternyata saat masih di warung langsung ragu-ragu tentang kebenarannya, sehingga minta tolong ibu warung untuk menngecek ulang dengan cara membuka bungkusnya😬
Bagus itu. Cek ulang.