Senja kemarin saya bisa bersepeda melintasi gang itu lagi setelah sekian lama diportal karena pandemi. Ada hal yang baru saya perhatikan, padahal mungkin sudah lama: petak garis sondah mandah.
Sampai sekarang saya belum pernah main sondah mandah karena bingkai gender sejak kecil: itu mainan cewek. Serupa bèkelan, pasaran, dan lompat tali untaian karet gelang dengan nama level ketinggian sakdheng (sakdhengkul) sampai sakud (sakwudel) setelah melewati saktem (saktem**k; genital perempuan — tapi semua orang menganggapnya wajar, tidak saru).
Di luar lingkungan sepermainan saya dulu bisa jadi anak laki juga main sondah mandah. Jika ya, ini soal referensi. Dunia rujukan saya dalam hal tertentu sebatas tetangga.
Kini dalam pelajaran SD, soal sondah mandah masih disinggung. Di YouTube juga ada. Sebutan lainnya adalah engklek, karena pemain harus bergerak dengan sebelah kaki, melompati bidang dalam garis.
Lalu? Saya tak paham kenapa permainan ini disebut permainan tradisional Indonesia, padahal ada di banyak negara, dalam bahasa Inggris disebut hopscotch
dan dalam bahasa Belanda adalah hinkelen dan hinkelspel. Konon asalnya dari India lalu menyebar ke Eropa.
Tentang bahasa Belanda, ada versi yang menyebutkan dari Zondag (baca: zon-dakh) Maandag (man-dakh). Artinya Sunday Monday, alias Minggu Senin. Sesuai jumlah tujuh kotak, dari Ahad ke Isnain.
Lha tapi ada jumlah kotaknya sembilan, jé.
3 Comments
Entah kenapa, sondah mandah rasanya jadi aneh kalau arenanya di atas jalan cor, bukan tanah. Soalnya gacuk kreweng kalau dilempar ke jalan cor pasti mudah pecah. Hahaha
Saya baru tahu bahwa alias engklek adalah sondah mandah, dan baru dengar sondah mandah sekarang.
Di Solo maupun di kampung saya, saya sudah lama bingits tidak melihat bocah2 bermain engklek.
Beda daerah beda nama. Ada yang cuma sondah.