Mengimajinasikan perjuangan hidup tukang odong-odong. Ngeblog memang bisa beda dari kerja jurnalistik.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Tukang odong-odong di Jalan Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Bekasi

Senja tadi, gerobak kayuh dengan tunggangan mainan anak-anak itu terseok-seok menyusuri jalan ramai. Saat jalan menanjak sedikit, lelaki pengemudi odong-odong itu turun, terengah mendorong gerobaknya. Di atas sepeda, saya sabar mengayuh pelan di belakangnya.

Untuk sementara, sebut saja odong-odong itu gerobak, bukan dihela tapi didorong dengan kayuhan seperti becak yang kita kenal.

Saya tak tahu dia orang mana, berangkat dari rumah jam berapa, menghidupi keluarga berisi berapa perut, hari itu sudah melayani berapa anak, apalagi bertanya sekali naik bayar berapa. Saya seperti turis, sangat berjarak. Ada dalih pembenar, itulah bedanya blogger dan jurnalis.

Tentu blogger juga bisa menempuh laku jurnalistik: semuanya jelas sejak awal, bahkan sebelum bertanya. Siapa dirinya, dari media apa, minta izin sebelum memotret, dan tak mengarang laporan.

Hari-hari ini ekonomi belum cerah karena pandemi. Saya tak tahu apakah berkurang anak kampung yang merengek minta naik odong-odong, karena dalam ekonomi seret yang namanya hiburan berbayar bukanlah prioritas.

2 thoughts on “Menduga perjuangan odong-odong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *