Sore kemarin, sekitar magrib, saat akan memutar balik sepeda, mata saya terbetot loket rumah gadai. Padahal saya sering lewat situ. Saya pun tahu bahwa loket-loket rumah gadai berjeruji besi.
Anehnya saya malah teringat toko emas. Seingat saya belum ada dua puluh tahun toko-toko emas memasang teralis, tapi yang di pasar becek malah banyak yang tanpa kerangkeng. Misalnya di Pasar Tomas, Cideng, Jakpus, dan Pasar Kecapi, Jatiwarna, Bekasi, Jabar,yang siap membeli anting sebelah itu.
Akhirnya ingatan saya mundur jauh. Loket PT Pegadaian sejak dulu, di bangunan warisan kolonial, disekat jeruji. Waktu kecil di Salatiga saya sering melewati dua kantor Pegadaian, di Jalan Kantor Pos (Jalan M. Yamin) dan Jalan Pegadaian (Jalan Raden Patah), belakang gereja Katolik.
Aneh juga, waktu itu Salatiga cuma satu kecamatan dengan sembilan kelurahan, seluas 27 km2, tapi punya dua kantor Pegadaian. Mungkin karena harus melayani warga sekitar yang wilayahnya, sebagai pengepung Salatiga, ikut Kabupaten Semarang.
Di mana pun dan kapan pun, rumah gadai adalah sekolah. Tapi yang disekolahkan adalah benda mati. Disebut lulus kalau boleh keluar. Dibilang ngeban kalau dilelang.
2 Comments
Paman pernah nyekolahkan apa?
Saya sih belum pernah. Tapi di rumah gadai versi lain ya pernahπ
Banyak. Menyekolahkan diri yang belum. ππ
Pernah mau niru Gombloh, kugadaikan cintaku, tapi ditolak.