Masih menarikkah ucapan selamat hari raya di koran justru ketika kartu ucapan via pos digantikan WhatsApp?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Sudah beberapa hari Kompas memasang iklan setengah halaman di korannya sendiri, menawarkan pemasangan ucapan selamat Natal dan Tahun Baru. Biasanya menjelang Lebaran juga. Memang sudah tradisi sejak awal 2000-an kalau saya tak salah ingat. Lalu?

Soal iklan ucapan selamat hari raya itu jamak. Menjadi menarik ketika media cetak makin surut. Masih menarikkah bagi perusahaan untuk memajangnya di koran, apalagi dengan desain biasa, pakai template pula, sementara aneka platform dan kanal media sosial memberikan ruang lebih banyak dan menyapa lebih banyak mata, termasuk melalui animasi dan video?

Pertanyaan yang sama terajukan kepada perorangan, bukan lembaga, yang memasang iklan ucapan hari raya untuk khalayak luas. Sudah hampir dua dasawarsa kartu hari raya via pos terus menyedikit. Produk lain yang lebih dulu tumbang adalah telegram indah padahal lebih lekas daripada kiriman berprangko.

Melalui iklan ucapan di koran, boleh jadi lebih banyak mata yang tersapa tetapi kurang spesifik untuk siapa. Kartu berdesain sama, yang dikirim via pos, menyertakan sentuhan personal. Setidaknya ada tanda tangan pengirim. Ketika kartu Natal masih hidup, para keluarga penerima memajang kartu yang berdatangan — sampai akhirnya dibuang.

Sebelum media sosial dan internet ponsel mempermudah ucapan hari raya, SMS lebih dulu menggeser kartu cetak. Kini semua ucapan via ponsel. Ada yang sederhana berupa teks, kadang juga sama isinya, cuma nama pengucap yang berlainan karena merupakan hasil copy and paste, dan lebih banyak lagi berupa gambar. Ponsel menjadikan teknologi kian demokratis, setiap orang menjadi desainer grafis.

Pada era kejayaan kartu, ucapan selamat Natal maupun Idulfitri bisa dibaca penerima setelah hari H terlampaui. Kartu via pos tiba ketika rumah kosong karena penghuni mudik atau berlibur.