![](https://sanadyan.files.wordpress.com/2021/12/wp-1638854644485.jpg)
Saya kadang menganggap orang lain sama dengan saya. Misalnya mata mereka, terutama para pegawai perusahaan logistik, akan terbiasa dengan stiker fragile dalam paket. Bagusnya, meski mata terbiasa, saya berusaha memperlakukan paket yang saya terima dengan baik. Tidak saya lempar.
Sebetulnya istilah kebal maupun terbiasa kurang tepat. Saya belum menemukan yang pas. Sekebal-kebalnya mata saya, asal rambunya jelas terbaca maka saya menghormati larangan merokok. Kalau batas kecepatan maksimum di jalan, itu jelas tak akan saya andaikan. Demikian pula batas minimum.
Ada hal yang saya heran, kenapa banyak sopir truk mengabaikan batas minimum di jalan tol?
Pertanyaan ini akan dianggap naif oleh siapa pun, seperti bertanya bukan kepada sopir angkot tapi orang lain mengapa angkot berhenti di S coret, dan tukang parkir mengarahkan mobil untuk parkir di P coret.
3 Comments
Dahulu kala waktu naik motor saya sering main trabas meski jelas terlihat lampu pengatur lalu lintas di prapatan sedang merah, bukan hijau.
Sekarang nggak pernah lagi krn malu, merasa nggak tertib.
Mungkin itu kuncinya : kudu punya rasa malu.
Mmmmm… 😇🍎
malu, merasa bersalah, merasa nggak tertib, dan —belakangan— takut kena tilang elektronik.