Judul berita koran Kompas hari ini (2/12/2021) di halaman depan: “Sampai Jumpa Empat Tahun Lagi, Tugu Jam Thamrin”. Tulisan panjang sonder gambar itu menjelaskan foto berita sehari sebelumnya.
Tugu jam seberat 42,49 ton di perempatan Jalan Thamrin yang dipotong Jalan Kebonsirih, Jakpus, itu dicabut karena lokasinya untuk galian proyek MRT. Nanti setelah proyek selesai, tugu jam akan ditancapkan lagi. Utuh seperti sediakala.
Belum jelas status tugu itu apakah termasuk cagar budaya, bahkan data tentangnya pun kabur. Kompas mencatat, foto bertarikh 1969 sudah merekam sosok si tugu.
Jam itu selalu hidup. Pemprov DKI merawatnya. Maka pemindahan sementara si tugu dipuji banyak pihak.
Akan tetapi apakah selama jamnya hidup para pelintas peduli? Dibandingkan 50 tahun silam, kini setiap orang punya jam. Setidaknya jam pada ponselnya. Kini jarang orang tak dikenal menanya kita, “Permisi, sekarang jam berapa ya?”
Bagi saya, tugu jam itu sebagai tetenger atau landmark warisan Indonesia modern pascakolonial — padahal sosoknya dikepung menara gigantis berupa gedung — tetap perlu sebagai bagian dari sejarah kota. Tak soal apakah orang melihat jamnya cocok atau tidak, seperti saya catat tahun lalu.
Dua belas tahun silam, November 2009, saya pernah memosting tugu jam itu. Mereknya Edox, bikinan Swiss. Saat itu seingat saya tunjukkan waktu kompak dengan arloji saya.
Harapan saya tentang jam fungsional di ruang publik juga berlaku untuk jam taman di Monas. Tak hanya mesti dirawat agar senantiasa berdetak tetapi juga dikawal agar tunjukan waktunya selalu pas. Pada 2018, saat olahraga pagi di sana, saya perhatikan jam-jam Monas mengikuti aneka zona waktu entah di mana saja.
2 Comments
Kalo ga salah, akun youtube MRT Jakarta pernah bikin video soal tugu jam itu, termasuk sejarahnya dan rencana pembongkaran. Menjelang gali menggali fase 2 dilakukan.
Oh terima kasih, Hedi 🙏🍎
Nanti saya cari.