Debu yang dulu hanya berupa tepung tanah superlembut kini menjadi tepung pekat berminyak nan menghitam lekat.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Debu di Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Mana debunya? Lihatlah foto. Ada kayu yang tampak mengilap, di depan kalender, dan ada yang buram kasar di kanan kiri kalender. Bagian yang memantulkan cahaya itu debunya telah saya seka dengan lap lembap.

Memang sih kalau saya melakukan saban hari untuk semua rak buku — kalau meja dan kursi harus rajin — takkan tebal debunya. Tapi kadang saya malas atau kekurangan kesempatan setelah kami tanpa asisten. Untunglah sekarang musim hujan sehingga debu berkurang. Kemarau kemarin, lantai teras selesai dipel sudah ngeres lagi.

Kalau untuk mengatasi debu pada buku memang butuh orang khusus dan kesempatan khusus. Saya wong lawas, masih punya buku, padahal hampir separuh sudah saya hibahkan, tapi tetap saja sisanya menyita tempat dan ramah debu.

Untuk CD, sudah enam tahun saya tak beli karena ada streaming berbayar. Sebagian CD ada dalam rak kaca, tapi tetap saja tidak antidebu. Yang jelas tak ada alasan memutar CD karena stereo set saya terbakar petir. Mau beli lagi tidak mampu.

Jadi, masalahnya apa? Ya debu itu. Rumah saya punya banyak ventilasi, pintu pun berjalusi, agar sirkulasi udara agak bagus. Tapi debu mudah masuk. Kalau hujan deras dengan angin, tempias butir air masuk melalui roster ventilasi. Apa boleh buat, lubangnya kemudian saya tutup kaca.

Ketika rumah selesai saya bangun 2006, dan saya tempati, jalan tol JORR Selatan-Timur sudah beroperasi. Pagarnya sejauh 1,5 km dari rumah saya, tapi gerbangnya 3,5 km dari rumah. Saat itu lingkungan belum terasa berubah.

Lalu tahun demi tahun rumah-rumah pun bertambah, kebun berkurang, jalan kecil di depan gerbang kompleks saya makin ramai, sehingga polusi pun meningkat.

Debu yang sebelumnya berupa butiran amat halus tanah akhirnya menghitam, agak lengket, seperti jelaga. Kipas plafon cepat menghitam, berminyak pula. Padahal dulu hanya cepat kotor biasa berwarna cokelat muda.

Padahal JORR kerap macet. Artinya emisi meningkat. Lalu jelaga beredar, tapi dedaunan tak sanggup lagi menangkapnya karena pepohonan mengusut. Malam sepi, saat JORR lancar jaya, pasti juga melepaskan emisi — memang sih lebih sedikit. Malam saat lalu lintas lancar, dari rumah yang kerap terdengar adalah desau bukan derum mobil yang melesat di jalan tol.

Tentang jelaga hitam berminyak, saya teringat saset permen Hexos yang dulu saya beli dari pengasong di atas bus Mayasari P6 di Cawang, Jaktim. Jari saya menghitam, berminyak, setelah memegang saset. Memang sih lebih hitam dan lebih pekat dari jelaga debu di rumah.

Selain Hexos, yang berjelaga adalah botol Aqua dan sejenisnya. Sebagai dagangan yang paling lekas laku, jelaganya lebih tipis ketimbang saset permen. Saat itu saya membayangkan bagaimana paru-paru pengasong dan polantas di jalan. Rerumputan liar di pinggir lampu merah Cawang saya lihat menghitam berkilat.

Saya yakin masalah debu berkarbon ini terjadi di banyak tempat. Depok dan Cibubur — termasuk Cibubur di wilayah Bekasi dan Bogor, bukan hanya yang termasuk Jaktim — pasti juga mengalami. Permukiman tumbuh terus dan kian padat, pepohonan berkurang, dan saat yang sama mobil serta sepeda motor sepertinya berbiak padahal tidak kawin.

Untuk menulis ini saya tak mencari rujukan data polusi dan membandingkan foto satelit luasan vegetasi antarwaktu selama selama sepuluh tahun di kawasan sekitar saya. Saya cukup bersaksi secara subjektif.

Lalu gimana dong buat ngurangin polusi suara dan karbon?

Sayang, mobil listrik dan sepeda motor listrik hari ini masih terasa mahal. Mobil listrik bekas semacam Hyundai Kona dan motor listrik macam Gogoro 2 dan Niu NQiGT atau Gova lebih mahal daripada kendaraan bensin yang setara. Padahal cara paling “ekonomis” mengadopsi produk teknologi bagus adalah membeli second atawa tweedehands.

6 thoughts on “Debu, dengan maupun tanpa deru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *