Tak mudah jadi guru. Apalagi jika imbalannya murah sehingga menghalangi belanja buku.
โ†ป Lama baca < 1 menit โ†ฌ

Hari Guru Nasional bersama Oemar Bakri dan Oemar Bakery

Hari ini adalah Hari Guru Nasional. Apapun status kepegawaian para guru, bisa PNS bisa partikelir, mestinya setiap hari kita rayakan. Sepuluh tahun silam saya pernah menyoal dalam kaus, istilah Oemar Bakri itu khusus untuk guru secara umum, seperti disebut Iwan Fals, ataukah khusus untuk guru yang pegawai negeri, yang juga disebut dalam lirik Virgiawan Listanto pada 1981, 40 tahun lalu?

Kepada para guru, yang tak pernah saya sebut mantan guru, saya berterima kasih. Memang ada periode ketika saya diracuni dendam terhadap guru tertentu, sehingga saya menulis “Guru: Ada yang Budiman, Ada yang Bajingan“. Perjalanan usia dan kematangan mengajari saya bahwa dendam itu merusak diri sendiri.

Tak sedikit guru yang hidup dengan kesejahteraan di bawah banderol. Pak Gi, guru SD yang galak, tapi saya suka, sepulang mengajar harus mengayuh sepeda memboncengkan dua jeriken kaleng besar sehingga saat kosong bergelondangan, menjual minyak tanah.

Guru yang menjadi sumber dendam utama saya hidup dengan persoalan domestik yang rumit, kadang saat pagi dingin dia sudah duduk di ruang guru, tepekur, melamun, wajahnya gelap, berkilat keringat, setelah bersepeda dari Salib Putih ke Salatiga, menyibak halimun. Mungkin banyak bara dan jelaga dalam hatinya, sehingga murid seperti saya menjadi penyalur energi gelap.

Saya berterima kasih kepada para guru. Semua guru. Dari guru saya belajar kebersihan kuku.

Saya berterima kasih. Apalagi ayah saya guru. Ibu saya guru. Setelah dewasa saya punya istri seorang guru, seorang perempuan yang saya pacari sejak kami sama-sama berusia 17, menikah usia 30.

4 thoughts on “Terima kasihku untuk para guru yang takkan pernah menjadi mantan guru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *