Ventilasi, tepatnya sirkulasi udara, itu soal merepotkan. Entah bagaimana suasana rumah tanpa AC sepuluh tahun mendatang.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Pintu dengan kisi-kisi untuk sirkulasi udara dalam rumah

Kadang angin terasa berembus. Kuanggap dari gunung karena datang dari selatan. Juga dari selatan, seringkali tak terasa napas si bayu. Di daratan rendah negeri tropis ini, dengan langit malam tak bersih bahkan saat kemarau, yang terasa di badan adalah udara lengas.

Kucoba membangun rumah dengan banyak lubang udara, dari roster sampai jalusi, dan kipas angin di langit-langit, pada mulanya sedikit menolong. Tapi itu pun dengan harga yang harus kubayar: banyak debu dan tentu nyamuk, pun tempias hujan menerobos lubang ventilasi. Belakangan rasa tertolong desain itu luntur setelah ada jalan tol. Lain waktu akan kuceritakan.

Lalu aku teringat sesal beberapa orang, yang tinggal di daerah panas lembap tapi ingin rumah yang katanya modern minimalis, dengan kaca besar di pintu dan jendela, tapi mengabaikan ventilasi memadai. Gambar di Instagram dan Pinterest merujuk wilayah sejuk, atau kalau di daerah panas pasti menuntut AC di setiap ruang. Ya, di setiap ruang.

Jangankan rumah baru ala minimalis, rumah di sekitarku banyak yang sumuk karena ventilasi tak memadai namun jendela jarang dibuka dengan alasan debu. Saat aku bertamu, kepalaku berembun, baju denim tipis biru muda menjadi indigo gelap membasah.

Sirkulasi udara. Mudah diucapkan tapi sulit diterapkan. Apalagi, sungguh manusiawi, setiap orang merasa sebagai arsitek yang baik bagi dirinya sendiri.

2 thoughts on “Tak tetap angin malam menyapa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *