Dua ibu di belakang saya, yang melakukan hal serupa dengan saya, berjingkat mencari pijakan kering di jalan yang sebelumnya tergenang sebetis, heran saat saya memotret permukaan jalan.
Saya memang kadang impulsif. Kamera ponsel memanjakan impuls saya. Padahal setelah foto jadi kadang tak saya manfaatkan. Hasilnya ya foto ini. Anggap saja lukisan abstrak.
Saya teringat saat kelas empat SD, dihukum guru membuat jadwal pelajaran untuk ditempel di pintu lemari sebelah meja guru.
Dengan asal-asalan saya warnai sobekan buku gambar itu pakai cat air. Setelah kering baru saya tulisi dengan bolpoin.
Setelah jadwal tertempel, dua guru, salah satunya guru kesenian, datang dan berbisik-bisik di depan karya saya di pintu lemari.
Saya yang duduk di depan mendengar sebagian. Mereka bilang ini lukisan abstrak, komposisi bagus. Lalu salah satu menyimpulkan, “Anak itu setelah besar akan jadi seniman.”
Omongan ngawur karena nilai menggambar saya cuma enam sampai tujuh. Di SMP dan SMA juga.
Setelah dewasa saya tidak menjadi seniman bidang apapun. Kalau senewen memang ya.
2 Comments
Yah, setidaknya setelah dewasa kan paman berkenalan dengan seniman-seniman hebat๐
Nggak juga. ๐