Horn speaker adalah produk teknologi yang ternyata jadi peka ketika dipersoalkan, bukan antara konsumen dan produsen. Kalau saja kepala daerah mau tegas.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Toa masjid selalu jadi masalah tapi tak dapat diselesaikan. Kenapa ya?

Pembicaraan via telepon itu terhenti. Seperti beberapa kali terjadi. Pada jam tertentu.

“Kenceng amat, Mas,” kata Rantang setelah ada jeda.

“Ya gitu deh. Dulu sih nggak selantang ini. Lalu tambah lantang. Dan kian kencang setelah akhir 2016,” sahut Kamso.

“Kenapa, Mas?”

“Mungkin karena ganti lospeker baru, kayaknya sampai empat atau enam ke segala penjuru. Di tempat lain di kompleksku juga. Jadi paduan suara. Tapi paling kenceng dia.”

Lalu pembicaraan disetop. Ambil jeda. Setelah horn speakers yang sering disebut Toa, padahal merek lain juga ada, itu usai, baru halo-halo lagi.

Obrolan inti selesai, lalu kembali ke soal lospeker. Pembicaraan dalam rumah Kamso pun harus berhenti jika Toa berteriak lantang selantang-lantangnya. Kedua anaknya yang bekerja di kamar, kadang sedang sedang rapat virtual, hanya mengeluh dan kesal, lalu murung.

“Pernah aku dan temanku sama-sama dapet bising dari rumah masing-masing pas teleponan.”

“Kan sudah ada pedoman penggunaan Toa ya, Mas? Bahkan negeri lain juga.”

“Ya gitu deh. Ini masalah peka. Kalo protes bisa jadi masalah. Berulang kali jadi berita juga masalahnya tetap. Mestinya kepala daerah bisa tegas soal ini. Lospeker kan bukan teknologi baru. Mestinya udah pada tahu adab penggunaannya. Kabar terbaru, ada permintaan memperbaiki sound system supaya enak didengar. Lha sound quality itu satu hal, tapi loudness kan lain lagi. ”

“Tapi…?”

“Ya tapi…?”

“Pasti mau bilang ya gitu deh lagi. Kayak orang mati akal dan putus asa aja, Mas!”

“Hahahaha…”

“Hehehehe…”

¬ Gambar praolah: Shutterstock, Toa Indonesia

2 thoughts on “Lospeker losss pollll…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *