Teman saya menyesal, merasa terlalu dini lahir. Dia sejak dulu suka seni dan kerajinan tetapi tak selalu mudah mewujudkan. Misalnya membuat dummy untuk kemasan karton, tote bag, karung goni, kaus, dan seterusnya.
“Generasi anakku lebih beruntung. Sekarang semuanya gampang. Bikin t-shirt cuma satu juga gampang, bisa sablon konvensional maupun DTG. Bikin boks karton juga sekarang gampang, tinggal pesan. Zaman kita dulu kan susah ya. Mau bikin sendiri nggak ada alat, mau pesen dummy mahal,” dia menggerutu.
“Justru bagus, Mas. Kesian anak-anak kita kalo harus ngulangi kerepotan bapaknya, kok kayak zaman nggak bergerak.” kata saya.
Lalu seperti orang kuciwa dia bernostalgia saat praktik sablon dengan kaus polos yang sudah jadi. Cetakan gagal. Kaus hanya buat tidur. Bikin mockup kemasan secara manual bisa, tapi cari pabrik kecil boks karton untuk layanan butik susah.
Sudahlah, itu masa lalu. Industri kreatif tak hanya dipermudah teknologi tetapi juga oleh layanan terjangkau. Tak harus setiap pemain punya alat sendiri. Ada pasar yang pemainnya saling melengkapi. Itulah ekosistem.
Bisnis rintisan atau startup tumbuh dalam dan oleh ekosistem itu. Mereka jual kopi, jual kaus, jual tahu petis, jual masker, jual buku, dan entah apalagi di atas platform yang bisa konsumen pakai di ponsel. Begitu pun dalam kemasan produk, sejak perumusan pesan, sasaran, desain, hingga memesan kardus, semuanya berjalan di atas ekonomi digital.
Saya tergerak menulis ini di ponsel setelah melihat kiriman kopi untuk putri saya dan beberapa hari lalu ditelepon seorang pensiunan yang takjub terhadap perkembangan.
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan