Bekas menteri, mantan menteri, eks-menteri

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum.

▒ Lama baca < 1 menit

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum

Gara-gara berita koran Kompas (Selasa, 24/8/2021), perihal vonis untuk Juliari Batubara, saya jadi ingin tahu apakah media lain juga menggunakan istilah “bekas menteri”.

Ternyata Kompas tidak bersendiri. Media lain juga menggunakan “bekas menteri” dan bukan hanya dalam kasus Juliari. Namun dalam tubuh berita maupun kapsi, bisa saja menggunakan “mantan”, bukan “bekas”.

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum

Apakah penggunaan “bekas menteri”, bukan “mantan menteri” maupun “eks-menteri”, hanya dalam kasus rasuah? Tidak juga.

Penyebutan bekas menteri, bukan mantan menteri, itu boleh, tak melanggar hukum

Soal bekas-bekasan ini menarik. Ketika media, terutama TVRI, memperkenalkan mantan sebagai pengganti “bekas” dan “eks” pada 1980-an, dengan cepat masyarakat, apalagi birokrat, menyambarnya. Kata yang diserap dari bahasa Jawa “mantên” (bukan “mantèn“) dianggap lebih santun ketimbang bekas. Aspek psikolinguistik dan sosiolinguistik pun berkelindan.

Kata mantan dari bahasa Jawa mantên

Maka dalam segera kata “mantan” berlaku untuk apa saja yang menyangkut manusia, termasuk untuk bekas pacar dan eks-suami. Bekas pacar itu tak nyaman, karena mudah dimainkan menjadi pacar bekas. Begitu pun bekas guru.

Untuk manusia, apalagi jika menyangkut jabatan, kata mantan lebih enak. Namun untuk presiden, akhirnya Indonesia meniru Amerika Serikat dalam penyebutan resmi kenegaraan: Presiden Republik Indonesia kesekian. Bukan mantan presiden sebagai padanan former president. Megawati Soekarnoputri pada 2014 pernah memprotes panitia acara karena disebut mantan presiden.

Presiden kesekian itu seperti menyebut raja yang biasa ditempeli angka Romawi atau dalam bahasa Jawa “kaping…”. Misalnya Ngarsa Dalem Hamengkubuwana Kaping Sanga, tapi yang ini pun merupakan peringkasan karena jika ditulis lengkap akan sangat panjang: Ngarsa Dálem Sampéyan Dálem Íngkang Sinuwún Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sènópáti-íng-Ngálaga Abdurrahman Sayidin Pánatagama Khalifatullah íngkang Jumeneng kapíng Sanga íng Ngáyogyakarta Hádiningrat.

Bagaimana dengan wakil presiden? Sejauh saya tahu ya cuma mantan wakil presiden. Sekali lagi sejauh saya tahu.

Ihwal utusan protokoler penyebutan presiden, ada yang menarik jika menyangkut Joko Widodo, sampai Kementerian Dalam Negeri (2015) menerbitkan surat edaran. Dalam acara resmi, sebutan yang diinginkan presiden adalah “Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi“.

Bapak Jokowi, bukan Bapak Joko Widodo. Ya, serupa stiker pada sepeda: Hadiah Presiden Jokowi. Lebih ringkas, lebih ngebrand.

Hadiah sepeda dari Presiden Jokowi dijual di Bukalapak

Sebutan untuk presiden sebelumnya, yakni Mega dan SBY, lebih karena penyebutan oleh media dan… kampanye capres.

Tinggalkan Balasan