Karya Kho Ping Hoo tapi bukan cerita silat

Buku fiksi berlatar banjir besar di Solo yang terbit 13 tahun kemudian, namun seperti ditulis dalam ketergesaan.

▒ Lama baca < 1 menit

Buku Geger Solo Banjir Bandang karya Lho Ping Hoo

“Tolong, tuan…… rumah kami dimasuki pencuri……!” teriak seorang perempuan.

“Mana jalannya menuju ke bawah, nyonya?” tanya Prayitno, tokoh dalam cerita banjir besar tersebab luapan Bengawan Solo, melanda Surakarta, Jawa Tengah, 16 Maret 1966 tengah malam.

Saya tak tahu apakah pada 1966 sapaan lisan tuan masih berlaku. Kalau sapaan lisan nyonya mungkin masih, disingkat nyah, terutama untuk perempuan Cina pemilik toko.

Saya memperoleh buku tipis Geger Solo terbitan 1979 ini sebagai barang bekas, dengan tanda tangan dan tarikh pemiliknya 10 Agustus 2002, atas nama A. Pepson, Jakarta.

Buku Geger Solo Banjir Bandang karya Lho Ping Hoo

Sebagai fiksi berlatar peristiwa nyata, tuturan Asmaraman S. Kho Ping Hoo ini kurang menarik. Memang ada drama dan konflik di tengah bencana, ditambah sejumlah kebetulan, dengan happy ending, namun sekian peristiwa seperti berdesakan. Mungkin karena semuanya terjadi di tengah banjir besar yang menenggelamkan perkampungan dan menghanyutkan apa saja termasuk manusia. Buku-buku CV Gema, penerbit karya Kho Ping Hoo, yang telah siap kirim di perusahaan ekspedisi pun terendam banjir.

Kesan saya cerita ini ditulis secara terburu-buru. Sekali lagi cuma kesan.

Geger Solo selesai ditulis saat Kho berusia 40, pada Hari Kartini, 21 April 1966, lima pekan setelah banjir, dan diterbitkan saat dia berusia 53. Naskah aslinya pasti masih ejaan lama. Jika menilik gaya bahasa, ketika terbit tampaknya hanya mengalami penyesuaian ejaan.

Dalam cerita, ketika Prayitno menggertak seorang pria di rumah cewek, dia bilang, “Saudara Rahmanto…” Mungkin karena Prayitno seorang anggota Hanra (Pertahanan Rakyat).

Adapun Rahmanto, playboy yang ternyata maling, menghardik, “Apa hubungannya denganmu, saudara Prayitno?”

Saya membayangkan latar Sala pada waktu itu. Banyak yang warganya, sesama orang Jawa, pasti berbahasa Jawa dalam percakapan harian informal. Ketika seorang anggota Hanra menghadapi tersangka pencuri, mungkin saja berbahasa Indonesia dengan sapaan “saudara”.

Tentu ada sisi cerita yang menarik. Eyang Setro, ingin Rahmanto, cucunya yang duda muda, itu menikahi Nuryati, perempuan yang kehilangan suami dan anak karena terseret bah, padahal belum sah statusnya sebagai janda. Baru dua minggu peristiwa berlalu.

  • Judul: Geger Solo (Banjir Bandang)
  • Penulis: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
  • Ilustrator: Joko W.
  • Penerbit: CV Gema, Solo
  • Cetakan: 1979
  • Tebal: 92 halaman

Tinggalkan Balasan