Saat mencari bolpoin untuk mengisi TTS bahasa Jawa di majalah Panjebar Semangat — keisengan yang tak pernah tuntas — tersadarlah saya bahwa ada banyak alat tulis di meja kerja.
Supaya meja tak ramai, saya pun membersihkan ambalan rak alat kerja. Oh, saya temukan kotak Parker berikut isi. Masih utuh selama bertahun-tahun. Saya coba bikin coretan di alas kotak ternyata tinta masih keluar.
Bolpoin Parker Rialto dalam kotak itu saya dapat dari istri saya entah kapan sudah lama, dulu dalam laci tertutup sehingga masih utuh tanpa debu tebal. Dia mendapatkannya sebagai hadiah ketika masih bekerja beberapa tahun silam.
Lantas lamunan saya menjalar ke sana sini. Orang seusia saya saja hanya memakai bolpoin — ada juga yang menyebutnya bolpen — saat masih bekerja di kantor. Hanya dengan satu bolpoin di meja pun, petugas yang butuh tanda tangan saya biasanya sudah membawa bolpoin.
Tak perlu memakai bolpoin sendiri berlaku hampir bagi semua karyawan. Bolpoin hanya dipakai untuk tanda tangan atau paraf.
Hanya mereka yang rajin mencatat, atau membuat coret-coret, yang membutuhkan bolpoin. Misalnya coret-coret untuk penawar kejenuhan saat berapat. Mereka kaum beruntung karena kualitas tulisan tangannya terawat. Tanda tangannya masih konsisten.
Komputer desktop maupun laptop dan kemudian ponsel telah menyingkirkan alat tulis bernama bolpoin dan pensil. Untuk yang suka menggambar, pensil masih diperlukan sih.
Jadi siapa yang masih sangat membutuhkan bolpoin? Anak sekolah. Sekali lagi: sangat membutuhkan.
Umumnya pekerja memang masih membutuhkan bolpoin tapi tak sering amat. Kalau kasir supermarket memburuhkan bolpoin untuk mencatat dan terutama memotong lakban.
Kalau vulpen? Maaf, saya menduga jika usia Anda 40 tahun ke bawah pun orangtua Anda mungkin tak menggunakan vulpen. Aneka pena tanpa mengisikan tinta lebih praktis.