Ketika belanja daring menjadi rutunitas, kenikmatan saat barangnya tiba sudah menipis. Tak ada sensasi lagi.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Ketika hendak berpamitan usai mengembalikan mangkuk dengan isi sambal goreng krecek, Bu Degan menatap beberapa kardus paket di teras.

“Kayak di rumahku, Mbak. Anak-anak selalu belanja online tapi barangnya nyampe nggak segera dibuka. Alasannya masih kerja di kamar, sekalian biar virus di kardus pada mati,” katanya.

Kamsi hanya tertawa kecil, “Namanya anak sekarang, Bu.”

Lalu sambil menoleh kepada suaminya dia bilang, “Itu bapaknya juga. Pesen buku, kopi, atau lainnya nggak langsung dibuka, alasannya nggak perlu buru-buru. Tapi kalo barangnya keliru baru ketahuan malem atau besoknya, lantas komplen.”

Kamso tersenyum, tapi tak kelihatan karena mulut bertabir masker.

“Kenapa bisa ya, Mas Kamso?” tanya Bu Degan.

“Karena semuanya mudah apalagi era online. Dulu sebelum ada internet, kalo kita habis belanja banyak kadang sampai di rumah ndak langsung mbukak, kecuali barang harus segera dipakai atau dikonsumsi. Sensasi hanya didapat ketika beli di toko. Itulah manusia konsumtif, para penggerak ekonomi yang mulia. Hehehehe.”

¬ Gambar praolah: Shutterstock, Picsart

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *