Sudah belasan tahun saya tidak makan grubi. Dulu, sekitar 2004, saya menemukannya di warung dekat rumah yang saya kontrak, di kompleks saya. Kemarin saya juga menemukannya di dekat rumah saya. Ya, grubi itu. Sepotong harganya Rp1.000.
Waktu saya bocah, setiap kali makan grubi saya teringat gumpalan tembakau, atau susur (sugi), yang dipakai para mbokde dan para simbah untuk menyeka gigi setelah mengunyah campuran pinang, sirih, dan pasta kapur (injรชt). Padahal nggak mirip amat sih.
Mungkin karena persepsi visual, sesuai anatomi bocah, dulu seingat saya ukuran grubi itu lebih besar dari yang sekarang. Seingat saya dua setengah sampai tiga kali ukuran yang sekarang.
Soal rasa ya tetap. Tapi dari seisi rumah, hanya saya dan istri saya yang doyan.
6 Comments
baru tahu namanya grubi.. saya menyebutnya kue sarang burung, karena bentuknya mirip sarang burung..
Oh ya?
Di Jerman pasti gak ada
.
Sebuah PR tersendiri memperkenalkan makanan-makanan itu pada anak-anak.
Anak saya sering tak belikke jajan pasar, anehnya tak ada satu pun yang cocok dengan lidah mereka kecuali cendol.
Apa yang salah dengan ketan lopis, klepon, kue lapis, dkk-nya itu ya?
Tak ada yang salah. Kalau dulu kita hidup di tengah kepungan aneka penganan, kita juga akan sama dengan anak-anak kita.
Dulu pilihan terbatas, kesejahteraan masyarakat belum sebagus sekarang. ๐
Ini enak! Meski nyarinya susah. Dan baru tahu kalau namanya grubi :))
Teman di Bogor nyebutnya keremes. BTW ternyata grubi ada di KBBI. ๐