Ternyata tak banyak yang saya ketahui tentang buah lokal dalam arti buah yang tumbuh di Indonesia, dari mana pun asalnya dulu. Kalau kepel atau burahol saya tahu, karena di halaman Mbah Kakung di Yogya dulu ada beberapa.
Jika jengkol dan petai disebut bikin urine berbau busuk pesing tajam, kepel dibilang bikin pipis dan saluran keluarnya wangi sehingga disukai oleh putri keraton. Entahlah apakah putra keraton juga ingin air seninya harum.
Laporan Kompas Minggu (5/7/2021) tentang buah lokal melemparkan saya ke renungan yang lain: anak-anak saya kurang akrab dengan buah lokal. Kalau pun tahu belum tentu suka, misalnya sawo dan manggis. Teman-teman sebaya juga berkisah serupa. Kesalahan ada pada orangtua?
Nostalgia generasi kami tentang masa kecil bersama buah-buahan, mungkin ada juga yang mencuri, tentu nggak bakalan nyambung. Sama seperti kami juga nggak paham kenapa masa bocah orangtua kami dulu sepulang sekolah memunguti buah asam di pinggir jalan.
Begitu pun jika saya bercerita bertemu ular hitam mlungker di depan dompolan salak saat saya sebagai bocah sembilan tahun akan memetik. Mungkin akan ditanggapi iseng amat, cari masalah, kenapa nggak beli di warung.
Pengalaman hanya bisa dibicarakan jika berlangsung dalam rentang sekarang, bukan masa lalu.
2 Comments
saya baru tau kepel ini nama buah, paman.. inget dari istilah “sak kepel” yang mungkin merujuk ke ukuran buah ini yang kecil(?)..
beberapa nama buah ini saya malah belum pernah lihat, bahkan mencoba..
zaman kecil, “buah lokal” yang sering saya temui adalah “buni/wuni”, “dhuwet”, dan tentunya “talok/kersen”
Mungkin juga dari nama buah. Tapi ada kata kerja pasif “dikepeli” dlm bhs Jawa kan?
Ya sama dengan kepal dalam bahasa Indonesia.
Buni dan dhuwet biasanya di kebon kosong, gak ada rumahnya. Di kuburan juga.