Ada kata “romantisisme” dalam berita olahraga di Kompas hari ini. Saya teringat seorang editor media daring yang sering kerepotan membenahi tulisan para peliput. “Di hape kan ada KBBI ya, Mas?”
Saya cuma tersenyum. Dia terus menggerutu.
Lalu dia memanggil seorang penulis, anak buahnya, yang sering salah dalam menuliskan ejaan maupun memilih kata. Saya menjadi penonton. Lebih aman, pun lebih menghibur.
“Tolong dong, kalo sering saya benerin berarti kamu harus nyadar kalo kamu salah, terus dalam tulisan berikutnya udah bener…” kata sang atasan.
“Sebenarnya sih menurut saya yang penting pembaca paham. Lagian mereka nggak protes kok,” si penulis membelah diri.
“Itu menurut kamu. Boleh. Tapi di media kita kan udah disepakati ikut KBBI, tapi untuk kata tertentu kita punya kebijakan sendiri. Untuk cashless, kita milih nirtunai, bukan nontunai, kecuali ngutip teks atau mulut orang.”
“Kenapa sih kita mesti pusing gituan? Media lain, kayak anu dot itu, biarpun kalimat dibilang berantakan, ejaan diejek kacau, tulisan muter-muter, trafiknya bagus, sales juga bagus…”
“Kita maunya juga punya trafik cakep, sales ngikutin, tapi kemasan penuturan dalam konten layak baca oleh orang terdidik, mudah dipahami orang asing yang belajar bahasa Indonesia, nggak bikin mesin penerjemah kagok…”
“Napa juga kita mikir orang luar? Ini kan bahasa kita? Soal robot atau apa tadi, ya mesin, lho kita kan manusia, masa sih nurut mereka? Katanya kecerdasan buatan, niru cara mikir manusia, bisa belajar, mestinya si mesin yang menyesuaikan diri.”
“Yang terakhir itu udah dan terus berlangsung. Robot terus belajar. Bisa bikin tulisan baru dengan struktur kalimat lebih genah, ejaan lebih bener, paham konteks kalimat, mudah dialihbahasakan ke bahasa apa aja oleh robot lain.”
“Nah jelas, kan?”
“Apanya yang jelas, Dul?”
“Kita nulis sesuai mau kita asal gak kacau amat, robot yang beresin. Hasil kerja robot kita akan dipake robot lain, misalnya nerjemahin subtitel film dan lapak online di luar negeri yang punya opsi bahasa Indonesia.”
“Masalahnya setelah kamu tahu banyak tuturan yang lebih tertata, karena robot menata tulisan, kamu mau belajar dari hasil itu nggak?”
“Lah, masa kita ngikutin robot? Kita kan manusia, Oom!”
“Oh, kalo kamu gak mau berurusan sama robot, kamu nggak bisa belanja dari hape tengah malem, nggak bisa bayar parkir sama tol tanpa gardu loket, Dul! Kamu juga nggak dapet rekomendasi lagu dari Spotify.”
“Itu namanya otomasi, Oom. Belum ke tingkat robot atau kecerdasan buatan. Beda jauh, Oom!”
Saya bersyukur tidak ditanya sehingga tidak nimbrung sampai kemudian ponsel saya bergetar. Ternyata dari seorang kenalan yang akhirnya jadi telemarketer — untunglah dia tak merangkap bahasawan.
4 Comments
baru tau yang tepat ro.man.tis.is.me..
Kalau merujuk bahasa Inggris memang begitu. Dulu kita merujuk bahasa Belanda, dan jejaknya masih bertahan
Tulisan ini menghiburkuuuuu
Memang ini hiburan kok, Nil 😇💕