“Kok masih baca Panjebar Semangat, Mas? Masih mudheng to?” tanya Pakde Blandar saat mengembalikan kunci inggris.
Kamso menjawab, “Paham dikit aja, Pakde. Buat selingan dan belajar bahasa Jawa lagi. ”
Lalu Pakde Blandar berceramah panjang, sesekali melonggarkan masker, tentang nguri-uri kabudayan Jawi. Kamso dengan santun mendengarkan.
Akhirulkalam, “Pokoknya Jawa itu segalanya. Khazanah bahasanya lengkap. Ndak semua bisa diterjemahkan ke basa Indonesia tapi malah bisa diterjemahkan ke basa Prancis. Betul ndak, Mas?”
“Nggak juga, Pakde. Karena kita nggak tahu bahasa suku lain lantas kita bilang yang lain kalah lengkap. Kalo bahasa Prancis saya nggak bisa.”
“Lho nyatanya bahasa Jawa lebih lengkap Mas!”
“Untuk hal tertentu mungkin benar, tapi karena kita nggak tahu.”
“Misalnya?”
“Untuk kesehatan jiwa bahasa Jawa sejauh saya tahu punya banyak istilah, sebagian kiasan, dengan gradasi makna. Dari sinthing, kenthir, gemblung, weng, menceng, koplak, owah, kocluk, sampai edan…”
“Mbok kalo kasih contoh itu yang lain to, Mas.”
6 Comments
sudah lama ndak dengar istilah “weng” 🤭
Dulu teman kuliah, anak Banjarmasin, menirukan dosen bilang “Beng” 😁
Gendheng, pekok, pego, sengok, kurang sak sendok… :D
Nahhhhh 😁
Pekde Blandar ngegas banget ya, paman hehew
Mungkin punya kecenderungan chauvinistis 😇