Selama Covid-19 ngapain beli pakaian

Pakaian bertambah padahal seisi rumah tak pernah pergi. Itulah akibatnya kalau pakaian rumah dan bepergian dibedakan.

▒ Lama baca < 1 menit

Kaus t-shirt great sale pisang Blogombal.com

Diskon. Korting. Sale. Obral. Satu keluarga berisi empat jiwa — catur warga, kata kampanye KB abad lalu — mengamati tawaran barang dari ponsel masing-masing.

“Oke nih baju. Longgar, santai. Ceria, cocok buat video conference,” kata si sulung, Witty, yang sudah empat bulan ngantor di rumah.

“Aku suka sepatu yang ini,” kata adiknya, Litty, yang selama Covid-19 mencari uang saku dari jastip di Instagram.

“Anak-anak cewek kita konsumtif ya, Mas. Ngapain beli baju, sandal, sepatu, kalo di rumah terus? Apa Litty nggak belajar dari pengalaman, semua barang di kos yang dia tinggal lama pada jamuran jadi sarang penyakit? Lantas barang-barang jamuran sekarang, dan entar, ada versi barunya setelah dia kembali ke rumah?” Kamsi nggerundel.

Kamso masih menyangga leher dengan kedua telapak tangan sambil menyender ke punggung kursi teras.

“Mas juga mau belanja ini itu terutama pakaian?” Kamsi menanya suami.

“Nggak, alas kaki sampai topi sudah cukup, lebih dari satu,” jawab Kamso.

“Tapi,” dia melanjutkan, “ekonomi hanya bergerak kalau ada konsumsi.”

“Ini pasti pengaruh Jokowi, Sri Mulyani, dan para menteri. Duit mereka itu banyak, nggak kayak kita, rakyat biasa.”

2 Comments

junianto Selasa 9 November 2021 ~ 12.22 Reply

benar, ekonomi hanya bergerak kalau ada konsumsi, dan saya berterimakasih kepada banyak orang —sebagian dari luar kota— yang makan di warung makan istri saya.

Pemilik Blog Rabu 10 November 2021 ~ 06.20 Reply

Merdeka! 👍🍎

Tinggalkan Balasan