Tadi selagi mengantre di kasir dan melihat iklan Alfakring saya pun melamun. Belanja via telepon bukan hal baru. Sejak dulu ada, dan bertambah setelah sambungan telepon rumah kian meluas tahun 1990-an.
Sederhana sih. Konsumen tinggal menelepon warung atau toko langganan, lalu penerima telepon mencatat di atas kertas. Hal sama terjadi di rumah makan bakmi dan capcai.
Yang membedakan dengan belanja daring saat ini adalah dulu tak ada sistem dan tanpa gerbang pembayaran. Kalau penjual sedang sibuk, dan asisten sedang mengatasi listrik njeglèk, telepon tak ada yang mengangkat.
Belanja pesan antar tahun 1970-1980-an
Tahun 1970-1980-an saya pakai buat menggampangkan delivery order. Sebelumnya juga sudah ada. Lihat saja iklan buku di koran dan majalah lawas. Konsumen mengirim wesel, dalam isian berita ditulis judul buku.
Bapak saya termasuk konsumen yang melakukan itu. Saya yang kadang disuruh ke Kantor Pos Salatiga, Jateng, untuk mengirimkan wesel, blankonya sudah Bapak ketik di rumah. Biasanya Bapak pesan buku ke Jakarta, antara lain ke Gramedia sebelum jadi penerbit, dan toko lain, untuk buku lokal maupun impor, berdasarkan iklan di Kompas.
Selain buku, Bapak juga melanggani majalah dan koran via pos karena produk tersebut tak memiliki agen di Salatiga. Misalnya majalah Basis dan Semangat, keduanya dari Yogyakarta, serta koran Jakarta The News Standard. Untuk melanggani majalah luar negeri Bapak mengirim wesel ke Indoprom, Jakarta, agen segala majalah asing.
Untuk belanja di luar bacaan setahu saya Bapak tidak melakukan. Sejauh yang saya ikut lakukan adalah membeli bacaan via wesel. Duit dari Bapak.
Sedangkan untuk pasar anak muda, medio 1970-an ada katalog Q dari Bandung. Jualan kaus via wesel. Majalah musik Salatiga Topchords, tempat Ariel Heryanto membahas konteks lirik lagu Barat, juga menjual kaus via wesel. Saya tak membeli busana via wesel. Uang saku tidak cukup.
Pengalaman pertama membeli barang non-bacaan adalah sepatu Wimo, dari formulir di majalah Hai. Ada panduan mengukur sepatu. Lalu setelah kuliah, barang non-bacaan yang pertama saya pesan via wesel adalah stiker label nama untuk buku.
Belanja jarak jauh tahun 1990-an
Era ini penetrasi kartu kredit kian meluas. Saya melanggani National Geographic, American Photo, dan Popular Photography via pos. Tapi pelangganan belum via web karena internet masih merupakan barang mewah, dial up pula. Pelanggan cukup mengisi formulir berupa sisipan kartu pos dalam majalah.
Saya pernah iseng, mencoba melanggani paket murah dengan diskon gede tapi hanya nomor awal yang sampai. Itu majalah Hustler. Lainnya mungkin kena inspeksi untuk barang cetakan berbahaya — hiburan dewasa sama bahayanya dengan buku Marxis dan aneka buku beraksara Cina. Untuk majalah begituan lebih mudah menitip teman yang ke dinas ke luar negeri atau bawa sendiri kalau berkesempatan ke LN.
Ada lagi produk yang tak pernah sampai: kartu remi dari U.S. Playing Cards berdasarkan katalog gratis yang mereka kirimkan ke Indonesia. Entah di instansi mana paket lebih dari satu pak kartu remi itu raib.
Menjelang akhir 1990-an sampai awal 2000-an, belanja bacaan via internet dilakukan antara lain oleh Sanur Book Shop. Buku silat Kho Ping Hoo juga ada di sana.
Nah… untuk belanja non-bacaan secara daring? Mulanya hanya via telepon. Pada 1997 aktris Lenny Marlina bikin Dial Mart. Tahun berikutnya eks-bankir Enny Hardjanto bikin Bebita (belanja bijak rumah tangga), dan Fresh Mart.
Saya belum pernah mencoba ketiga pemain itu, apalagi ada krismon, lagi pula domisili ndeso, belum ada jalan tol JORR, di luar batas antar. Menurut majalah Tempo (18/11/1998), mulanya Bebita milik PT Pos dan Giro, tapi karena macet dioperkan ke Enny yang saat itu dikenal sebagai ratu pemasar kartu kredit Citibank.
Setelah efek krismon reda, Masima (Prambors) bikin toko daring Radioclick. Setelah konsumen menyelesaikan pesanan, orang Radioclick akan mengonfirmasi via telepon. Sayang toko ini berumur pendek.
Memasuki milenium baru, belanja internet menjadi lebih mudah. Ada Glodok Shop untuk barang elektronik (saya dapat subwoofer murah Mordaunt Short), Lipposhop.com (salah satu pesanan saya berisi beras, saus, sambal, dan otopet beroda transparan), serta e-Metrodata (pesan tinta printer sampai kertas HVS). Setelah itu adalah Bhinneka.
Tentu saya juga mengalami berbelanja dengan transaksi yang belum sepenuhnya menyatu dalam sistem. Misalnya membeli kibor lalu baterai laptop dari Indonetwork. Karyawan toko sepulang kerja yang mengantarkan barang kepada saya.
Transaksi daring sekarang
Saya malas mencari data tapi yakin jumlah pembelanja dan transaksi daring meningkat, apalagi selama Covid-19.
Data yang ingin saya ketahui adalah apakah pembelanja daring dari generasi saya, baby boomers, bertumbuh “banyak”. Selain berbelanja adalah aneka urusan duit via ponsel.
Mau bilang “banyak”, mau bilang “signifikan”, tetap perlu angka pendukung, kan?
Saya termasuk konsumen yang bertransaksi secara daring tapi tak seaktif generasi anak-anak saya.
Orang sebaya atau lebih tua yang lebih aktif dari saya pasti ada, bahkan banyak. Tapi saya menerka tak sebanyak orang sesama kaum yang terasing dari aneka transaksi daring. Itulah kaum yang untuk memesan Gojek pun harus meminta tolong anak — termasuk anak tetangga.
Juga kaum yang masih membayar tagihan listrik melalui layanan inkaso di rumah tetangga supaya dapat berolahraga jalan kaki dan bersilaturahmi dengan sejumlah orang.
2 Comments
dulu kalo ngirim lewat wesel, konfirmasi pembayaran dan pengiriman barangnya gimana ya paman? 🤔
Pakai resi, bukan Resi Bisma. Harus tinggu waktu. Lalu awal 2000-an muncul wesel elektronik, tapi harus bersaing dengan Internet banking yang gak perlu antre di loket kayak di Kantor Pos. Setelah ada transfer via ATM, antarbank pula, lalu ada cara Western Union dan sebangsanya, wesel menjadi tidak menarik. Apalagi setelah ada payment gateway dalam berbelanja online.