Penjahit keliling dengan benang jambon dan merah

Penjahit keliling masih bertahan karena setiap keluarga tak merasa perlu punya mesin jahit. Industri garmen memberikan kemudahan, konsumen tak perlu menjahit sendiri.

▒ Lama baca < 1 menit

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Kadang kaki kiri lelaki ini turun, lalu sebagai penyeling, kaki itu dia angkat, ujung depan telapaknya dia tumpangkan di atas sumbu roda. Alat kerjanya mirip becak, beroda tiga, hasil rakitan bengkel las. Di atas kendaraannya dia pasang mesin jahit bermerek Standard karena, “Kalo Singer mahal.”

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Pak Waluyo namanya. Seorang penjahit keliling. Dia bekerja dengan mengayuh besi injakan penggerak jentera. Dia lakukan pekerjaan pedal sekaligus manual. Kaki dan tangan bekerja. Tapi di mesin jahit tertempel dinamo. “Itu buat kerja di rumah,” dia menerangkan.

Setiap hari dia berangkat dari rumah, dekat kantor Kelurahan Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi, Jabar, pukul delapan lewat, lalu berkeliling ke kompleks satu, esoknya kompleks dua, dan seterusnya, selalu melewati kampung demi kampung. Konsumen sudah menunggu. Kadang dengan perjanjian. “Orang-orang punya nomor hape saya,” katanya.

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Ongkos menyambung sarung dia minta Rp10.000. Tapi kalau menjahit banyak — memperbaiki pakaian, bukan bikin busana — ongkosnya lebih murah karena borongan. Sudah sepuluh tahun lebih dia menjalani pekerjaan, “Alhamdulillah cukup.”

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Di samping roda kanan ada kotak berisi benang beraneka warna. Setiap gulung benang dia pakai sesuai warna kain. Saya tak menanya kenapa warna jambon dan merah lebih banyak dari warna lain.

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Ketika melihat dia memindahkan benang, dari kelos ke gulungan kecil logam, dengan bantuan jentera atas, saya pun teringat pengalaman masa kecil melihat ibu saya menjahit. Bagi saya teknik memindahkan benang itu menarik. Saya teringat komponen mesin jahit. Misalnya sepatu dan sekoci.

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Setelah mencopot benang putih, dia menggantinya dengan benang jambon untuk menjahit celana kolor anak berbahan kaus yang juga jambon. Jek jek jek jek mesin berbunyi. Rata-rata perbaikan kecil berupa penjahitan ulang butuh waktu empat menit, termasuk urusan pasang benang. Kalau selimut dan seprei lebih lama.

Pak Waluyo, tukang jahit keliling

Sepeda roda tiga mirip becak itu punya tiga kompartemen. Untuk benang dan kancing, peralatan kerja termasuk pompa sepeda, bekal minuman, dan katanya, “Untuk barang apa aja kalo dikasih orang.”

Tukang jahit keliling adalah saksi zaman terhadap dua hal. Pertama: makin ke sini makin banyak keluarga yang tak punya mesin jahit karena tak memerlukan. Kedua: hampir semua keluarga membeli pakaian jadi karena industri garmen memberikan pilihan lebih murah ketimbang bikin sendiri atau pesan ke tailor maupun modiste.

2 Comments

Zam Sabtu 4 Juli 2020 ~ 17.16 Reply

saya ingat ibu saya. ibu saya bisa menjahit, dan sempat punya mesin jahit Standard ini. kemudian upgrade ke Singer, yang terintegrasi dengan mesin obras. dulu saya sering diminta ibu untuk mengantarkannya ke sebuah toko jahit, untuk “ngobraske” alias meng-obras jahitannya. biasanya ditinggal dan diambil 2-3 hari berikutnya.

Pemilik Blog Senin 6 Juli 2020 ~ 09.30 Reply

Nunggu obras sampai tiga hari? Lama juga.
Saya dulu baju dan celana dibikinin ibu. Makanya sering kembar.

Semua cucu mengalami dibikin rok oleh mbah putri, ys ibu saya itu

Tinggalkan Balasan