Dari gudang saya temukan mainan dari kayu pinus yang bersih karena terbungkus rapat. Bukan wooden pinball machine karena harus digerakkan dengan tangan agar kelereng tak terpesok lubang saat menyusuri labirin beralaskan hardboard.
Saya lupa dulu beli mainan untuk putri saya ini di mana, apakah di pameran ataukah di toko langganan ekspatriat (tapi di mana?). Dulu belum ada lapak online aneka barang. Toko daring pertama setahu saya untuk buku, Sanur Book Shop. Lalu setelah krisis moneter muncullah Lipposhop, tempat saya membeli beras, kecap, dan otoped dalam satu order, diantar pakai mobil boks.
Mainan ini menarik karena terbuat dari kayu. Buatan Indonesia, bukan dari Cina yang sekarang mengisi ceruk pasar mondial. Dulu waktu saya kecil di Salatiga, Jateng, saya selalu heran kenapa keluarga bule pada memiliki mainan kayu. Memang sih mereka juga punya mainan kaleng maupun plastik.
Banyak alasan kenapa mainan edukatif kayu masih disukai. Antara lain isu kesehatan (apakah pakai cat jenis non-toxic) dan lingkungan (bukan plastik seperti Lego, tapi bahan kayu harus lolos sertifikasi). Tentu pro-kontra terus berlangsung.
Sebuah artikel di The New Yorker mengutip isi sebuah buku yang menyitir Roland Barthes: kalau plastik dan logam sih “tidak berkelas” dan “berbau kimia,” sedangkan kayu berkesan “ramah dan puitis“.
Seberapa akrab Anda dengan mainan kayu?
2 Comments
saya malah menemukan mainan semacam ini dari aplikasi game di ponsel, paman.. sama-sama memerlukan ketangkasan menggerakkan tangan
Game komputer jadi simulator mainan nyata dari kayu. Lucu sebenarnya.