Sekantong kerupuk isi sepuluh ini harganya Rp10.000. Saya tidak tahu berapa keuntungan Mas Jeffrey*, penjual sayur di pangkalan angkot CH T10, Pondokmelati, Bekasi, Jabar.
Kalau menilik alamat pabrik, ternyata jauh juga, nun di Ciputat, Tangerang, Banten. Sejauh sekitar 25 km dari warung Mas Jeffrey yang mungkin mengulak dari Pasar Pondokgede sebelum subuh. Sejauh saya tahu, setiap wilayah punya industri kerupuk rakyat murah meriah, dengan pemasaran lintas kecamatan. Namun mata rantai distribusi kerupuk Taruna ini rupanya kelas AKAP: antarkota antarprovinsi, Banten-DKI-Jabar.
Lalu soal label halal tanpa logo MUI? Oh, mungkin halal sejak dari niat bikin kerupuk dan yakin bahwa bahan dan prosesnya sesuai syariat. Masa sih nggak percaya? Terlalu, kalau ada orang main-main soal kehalalan makanan. Toh banyak kedai makanan dan minuman tanpa sertifikat yang penjual dan pengudapnya sama-sama yakin soal halalan toyiban.
Soal berikutnya adalah desain label atau etiket. Apakah didaftarkan ke Kemenkumham? Mungkin tidak. Tak hanya gambar dan logo, merek pun tak perlu didaftarkan. Kebangetan kalau ada yang bikin edisi palsu. Kalau pun mirip itu hanya kebetulan, demikian yang berlaku di kalangan UMKM gaya lama.
Soal gambar, sejak tahun 2000 banyak UMKM menggunakan clipart, tinggal unduh. Tak perlu ilustrasi minta tolong anak tetangga. Kalau penjual jus buah lebih mudah, tutup gelas plastik sudah ada gambarnya, merek cukup di kaca rak aluminium dan spanduk hasil cetak digital.
*) Entahlah siapa nama aslinya, ibu-ibu yang menamai dia Jeffrey