Saya menduga, lima tahun terakhir ini tak ada lagi sepeda kerupuk. Semua sudah tergantikan sepeda motor. Kalau masih ada sepeda kerupuk, kasihan si tukang kerupuk. Kecapaian kalau pergi pulang 12-15 kilometer.
Seingat saya, kargo sepeda kerupuk zaman sepeda dulu memiliki lebih dari tiga pintu kecil dengan tutup cabutan seperti kaleng kerupuk berjendela kaca. Kini kargo kerupuk hanya punya tiga pintu kecil dan satu pintu besar di bagian atas untuk curah. Saya tak tahu apakah pencurahan dilakukan dengan memanjat tangga A (Jawa: bè-i, bukan bei dari ngabèhi) ataukah ada conveyor sederhana.
Saya juga tak tahu apakah cara mencetak kerupuk dari adonan masih menggunakan kaleng Wybert (eh, sekarang sudah nggak ada ding) lalu ditata di atas anyaman bambu untuk dijemur. Adonan dipelotot vertikal ke bawah dengan penekan diberati batu. Itu dulu, yang saya lihat saat saya masih bocah.
Berapa pun jumlah pintu kargo, tukang kerupuk selalu membawa lap. Ternyata itu serbet. Entah berapa hari sekali ganti. Fungsi serbet itu untuk menyeka minyak dalam kaleng berjendela kaca yang dititipkan di warung, sekalian mengurangi bau penguk.
Soal higiene? Selama daya tahan dan kekebalan kita baik, terbukti tak ada masalah. Paling sedikit batuk kalau kerupuknya nyegrak. Kalau penguk dan melempem tak usah dimakan.
Satu kotak kargo dapat memuat 500 lembar kerupuk. Nah, motor kerupuk yang saya foto ini tak pernah membawa penuh. Cukup 300 lembar kerupuk, supaya tidak berat kata si kurir merangkap juru tagih. Kalau beli langsung dari dia, Rp10.000 dapat dua belas lembar.
Dulu, zaman sepeda kerupuk, saat kargo kosong akan bergelondang saat melalui jalan rusak. Ruang resonansi kargo bisa menghasilkan gemuruh saat sepeda meluncur di jalan menurun yang berbatu.