Setelah dihangati mentari, kapal terbang dari kertas buku tulis itu mengering. Saya mendapati mainan itu tadi malam saat gerimis.
Kapal terbang (ya, kadang saya menggunakan sebutan arkais; bukan pesawat terbang maupun hanya pesawat) dari kertas termasuk origami sederhana. Setiap anak bisa bikin. Lain halnya dengan burung kertas yang selalu tersaji di meja makan resto Midori itu: tak setiap anak bisa.
Saya menduga temuan di halaman depan itu buatan anak, lalu diterbangkan, dan menyeberangi pagar, akhirnya jatuh di dekat kaki pot tanaman.
Bisa juga si kapal terbang bikinan orang dewasa, dengan menyobek buku tulis bergaris, lantas dia ulangi kesenangan masa kanak-kanak.
Usia berapa pun si pembuat, sebetulnya lebih menarik bikin perahu kertas di awal musim hujan ini. Selokan yang lancar sehabis hujan bisa menjadi kanal perahu.
Dulu waktu kecil saya beberapa kali melakukan. Baik dengan perahu kertas maupun perahu dari papan kemiri dengan memanfaatkan karet gelang sebagai motor pendorong.
Eksperimen paling menegangkan berlangsung saat perahu memasuki gorong-gorong. Hampir selalu terjebak di dalam. Lalu permainan sendirian itu pun usai.
Kini saya tak punya waktu untuk keisengan dan kesenangan macam itu. Bahkan membuat kapal terbang maupun perahu kertas pun tak pernah.
Apalagi membuat burung kertas. Saya lupa caranya. Harus les ke Midori. Tanpa makan sushi dan sashimi, tanpa pijat di ruang sebelah, dan tanpa menyantap sup bandeng di kedai sebelahnya, Resto Ngalam.