↻ Lama baca < 1 menit ↬

Sering saya mendapati teks bergaya bahasa Melayu zaman kolonial yang asal mengganti huruf “u” menjadi “oe”. Padahal bahasa Belanda pun mengenal “u”, bahkan sapaan untuk orang kedua cukup “U” dalam huruf kapital. Di Negeri Belanda, kota Utrecht tetap pakai “U” bukan “Oe”.

Saya juga pernah melihat paket informasi operator telekomunikasi, untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda di Gedung Stovia Jakarta, mengganti semua “u” dengan “oe” agar terkesankan arkais.

Kok bisa ya? Di mana masalahnya?